POSPAPUA

Ikuti perkembangan terkini Indonesia di lapangan dengan berita berbasis fakta PosPapusa, cuplikan video eksklusif, foto, dan peta terbaru.

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia |  Menavigasi pertumbuhan ekonomi di Indonesia: menyeimbangkan kemajuan dan keberlanjutan

Sekretariat Kabinet Republik Indonesia | Menavigasi pertumbuhan ekonomi di Indonesia: menyeimbangkan kemajuan dan keberlanjutan

Ditulis oleh : Ronald Sufyan JS Sibayong*)

Perekonomian Indonesia telah menunjukkan pertumbuhan yang mengesankan dalam beberapa tahun terakhir, dengan tingkat pertumbuhan tahun-ke-tahun sebesar 5,17% pada kuartal kedua tahun 2023, melebihi ekspektasi pasar. Namun, untuk keluar dari perangkap pendapatan menengah dan mencapai kesejahteraan yang berkelanjutan, mempertahankan tingkat pertumbuhan sebesar 6% hingga 7% di tahun-tahun mendatang sangatlah penting.

Kekuatan pendorong di belakang pertumbuhan ekonomi
Konsumsi domestik dan pengeluaran pemerintah
Konsumsi domestik yang kuat dan peningkatan belanja pemerintah merupakan kontributor utama terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Meski aktivitas ekspor dan impor melambat akibat fluktuasi harga komoditas, namun konsumsi dalam negeri tetap stabil. Akselerasi nyata dalam konsumsi rumah tangga, yang menunjukkan pertumbuhan tahun-ke-tahun sebesar 5,23% pada kuartal kedua tahun 2023 dibandingkan dengan 4,54% pada kuartal pertama tahun 2023, memainkan peran yang efektif. Faktor peningkatan pergerakan pada hari raya keagamaan seperti Idul Fitri dan Idul Adha serta libur sekolah turut berkontribusi terhadap peningkatan tersebut. Apalagi, pemberian Tunjangan Cuti (THR) dan Gaji Bulan Ketiga Belas (PNS) kepada PNS telah meningkatkan daya beli. Sektor-sektor seperti transportasi, komunikasi, pakaian dan alas kaki, hotel dan restoran menunjukkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang signifikan.

Menariknya, kuatnya pertumbuhan PDB dapat dikaitkan dengan tren deflasi. Pada kuartal kedua, deflator PDB turun lebih cepat dibandingkan IHK, sehingga menghasilkan pertumbuhan riil yang relatif kuat. Beberapa sektor, seperti ekspor neto dan konsumsi rumah tangga, meningkat secara riil karena penurunan harga. Investasi aset tetap dan belanja pemerintah/nirlaba juga berkontribusi terhadap pertumbuhan. Namun kinerja sektor-sektor tersebut dalam jangka pendek akan bergantung pada perkembangan global. Konsumsi rumah tangga tetap menjadi faktor utama, dan pengiriman uang serta belanja terkait pemilu diperkirakan akan mendukung pertumbuhan dalam jangka pendek.

Sekadar diketahui, deflator PDB merupakan ukuran inflasi atau deflasi di berbagai sektor perekonomian, seperti manufaktur, perdagangan besar, dan ekspor komoditas. Dalam konteks Indonesia, penurunan deflator PDB yang lebih cepat dibandingkan dengan CPI menunjukkan inflasi yang lebih rendah, yaitu penurunan tingkat inflasi secara umum. Kontraksi ini memungkinkan pertumbuhan ekonomi relatif kuat meskipun pertumbuhan nominalnya lemah. Perubahan deflator PDB dapat memberikan gambaran bagaimana inflasi atau deflasi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Deflator PDB menurun secara signifikan dibandingkan dengan CPI pada kuartal kedua. Hal ini benar karena CPI hanya mencerminkan inflasi pada tingkat konsumen (ritel), sedangkan deflator PDB adalah ukuran yang lebih luas yang juga memperhitungkan inflasi pada aktivitas lain seperti manufaktur, perdagangan grosir, dan ekspor komoditas. Pada kuartal kedua, terjadi penurunan harga komoditas secara signifikan dan dumping persediaan dari Tiongkok, yang menyebabkan penurunan tajam harga produsen dibandingkan dengan CPI. Hal ini menjelaskan mengapa deflator PDB lebih rendah dibandingkan CPI.

READ  Kerja sama S'pore-Indonesia dengan ekonomi hijau terus berlanjut, ibu kota baru Nusantara: PM Lee

beberapa Tantangan
Kontraksi ekspor dan impor
Di tengah pertumbuhan ekonomi, Indonesia menghadapi kontraksi ekspor dan impor pada kuartal kedua tahun 2023. Ekspor barang mengalami kontraksi sebesar 2,75% year-on-year, sedangkan impor barang dan jasa turun sebesar 3,08% year-on-year. Kontraksi ini terutama didorong oleh penurunan ekspor produk mineral sebesar 0,17%. Meskipun ekspor jasa tetap positif akibat peningkatan kunjungan wisatawan asing dan masuknya devisa, namun kinerja ekspor secara keseluruhan terhambat oleh kembali normalnya harga komoditas global.

Kontraksi ekspor memerlukan pengawasan ketat mengingat potensi dampaknya terhadap PDB Indonesia. Situasi ini semakin diperburuk dengan masih lemahnya kondisi perekonomian global yang ditandai dengan rendahnya permintaan terhadap barang-barang yang belum pulih sepenuhnya. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) menggarisbawahi prospek perdagangan global yang masih lemah dan pesimistis pada paruh kedua tahun 2023 selama sesinya pada bulan Juni. Selain itu, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan tingkat pertumbuhan ekonomi global sebesar 3% pada tahun 2023 dalam laporannya pada bulan Juli. Secara keseluruhan, faktor-faktor ini menggarisbawahi kebutuhan mendesak Indonesia untuk mengatasi tantangan ekspor dan bergerak menuju kesejahteraan yang berkelanjutan.

Ketergantungan pada ekspor komoditas dan peran diversifikasi
Salah satu aspek mendasar yang perlu dibenahi terkait ekspor Indonesia adalah ketergantungannya pada komoditas. Indonesia masih sangat bergantung pada ekspor komoditas seperti minyak, gas, dan produk pertanian. Ketergantungan ini menjadikan Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global, sehingga menekankan pentingnya diversifikasi ekspor untuk memitigasi risiko ini. Diversifikasi ekspor menjadi penting untuk mengurangi ketergantungan ini dan meningkatkan kemampuan Indonesia untuk menahan fluktuasi pasar eksternal.

Dampak apresiasi mata uang terhadap diversifikasi ekspor
Apresiasi mata uang dapat berdampak signifikan terhadap ekspor dengan menjadikan produk Indonesia lebih mahal bagi pembeli asing. Keadaan ini dapat menyebabkan penurunan daya saing di kancah global, yang dapat mempengaruhi volume ekspor dan pendapatan. Namun, apresiasi mata uang bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi upaya diversifikasi ekspor Indonesia. Infrastruktur, biaya produksi, sistem perdagangan, dan akses pasar juga mempengaruhi kemampuan suatu negara dalam melakukan diversifikasi ekspor.

Mengatasi tantangan diversifikasi ekspor
Untuk mengatasi lambatnya diversifikasi ekspor, Indonesia harus berupaya meningkatkan daya saing produknya di kancah global. Hal ini mencakup peningkatan kualitas produk, efisiensi produksi, inovasi, dan pengembangan merek nasional yang kuat. Selain itu, negosiasi perdagangan proaktif dengan negara tujuan ekspor utama dapat meningkatkan akses pasar.

READ  Koridor perjalanan Singapura-Indonesia tertunda: Sandiaga - Bisnis

Pertimbangan strategis untuk remanufaktur
Kinerja triwulan II tahun 2023 menunjukkan tren struktural yang penting. Pertama, pertumbuhan sebagian besar didorong oleh sektor jasa. Sektor pengangkutan dan pergudangan mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 15,28% (secara tahunan), diikuti oleh sektor jasa-jasa lainnya sebesar 11,89%, dan sektor jasa akomodasi dan makanan sebesar 9,89%. Kedua, sektor-sektor yang menyerap angkatan kerja, seperti pertanian, pertambangan, dan manufaktur, mengalami pertumbuhan di bawah laju pertumbuhan nasional. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan tumbuh sebesar 2,02%, sedangkan sektor industri pengolahan tumbuh sebesar 4,88%. Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini diperlukan fokus pada reindustrialisasi, seperti yang ditunjukkan oleh perlunya meningkatkan pertumbuhan sektor-sektor padat karya.

Dampak deindustrialisasi terhadap perekonomian Indonesia
Lanskap industri Indonesia telah menunjukkan tren menuju de-industrialisasi yang mengkhawatirkan, yang terlihat dari penurunan proporsi manufaktur dalam perekonomian sejak tahun 2002, dengan penurunan terbesar sejak tahun 2009. Penurunan ini juga berdampak pada produksi dan lapangan kerja, sehingga mengakibatkan dalam penurunan nilai tambah oleh sektor manufaktur. Selain itu, peran manufaktur dalam berkontribusi terhadap PDB telah berkurang sejak tahun 2008. Dalam 15 tahun terakhir, rasio manufaktur terhadap PDB Indonesia termasuk yang terendah di ASEAN, dengan kontribusi sebesar 18,3% pada tahun 2022, dibandingkan dengan 27,8% pada tahun 2008. Penurunan ini lebih nyata terjadi di negara-negara seperti Malaysia dan Thailand. Alasan terjadinya deindustrialisasi antara lain tingginya biaya produksi, sulitnya memperoleh bahan baku, kurangnya investasi di sektor manufaktur, kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, dan permasalahan manufaktur ramah lingkungan yang mencakup penggunaan dan efisiensi energi.

Pentingnya reindustrialisasi untuk pertumbuhan berkelanjutan
Untuk mengatasi tantangan deindustrialisasi dan mendorong pertumbuhan berkelanjutan, Indonesia harus memprioritaskan strategi industri yang komprehensif. Hal ini mencakup menghidupkan kembali dan merevitalisasi sektor manufaktur melalui investasi, dukungan kebijakan, dan mendorong lingkungan yang mendukung kreativitas dan daya saing.

Menavigasi pemulihan ekonomi Tiongkok: kemajuan yang lambat
Terakhir, aspek utama yang harus dicermati adalah perkiraan laju pemulihan ekonomi Tiongkok secara bertahap. Seperti yang diperkirakan oleh Dana Moneter Internasional (IMF), perekonomian Tiongkok diperkirakan akan mencapai tingkat pertumbuhan sebesar 5,2% pada tahun 2023. Namun, ada perspektif yang berbeda ketika mempelajari penilaian terbaru. Berdasarkan survei Caixin/S&P Global, Purchasing Managers' Index (PMI) Tiongkok turun dari 50,5 pada Juni 2023 menjadi 49,2 pada Juli 2023. Angka ini lebih rendah dari ekspektasi banyak analis yang memperkirakan nilai 50,3.

Sifat situasi yang beragam ini memerlukan eksplorasi lebih lanjut. Di satu sisi, perkiraan pertumbuhan IMF menunjukkan tingkat momentum ekonomi tertentu di Tiongkok. Namun, penurunan PMI, seperti yang disoroti oleh survei Caixin/S&P Global, menunjukkan adanya tantangan mendasar. Kesenjangan data ini menyoroti kompleksitas yang melekat dalam prakiraan lintasan ekonomi, terutama mengingat lanskap global yang dinamis.

READ  Pukulan Delta mengetuk angin dalam pemulihan ekonomi Asia

Pengamatan lebih dekat terhadap dinamika internal Tiongkok memberi kita wawasan yang berharga. Interaksi antara penawaran, permintaan, dan pesanan ekspor membentuk ekosistem rumit yang dapat sangat mempengaruhi momentum perekonomian. Pergeseran ke bawah dalam Indeks Manajer Pembelian (PMI) menunjukkan potensi masalah dalam ekosistem ini, yang mungkin berasal dari berbagai faktor seperti gangguan rantai pasokan, ketidakpastian sisi permintaan, atau perubahan dinamika perdagangan global.

Skenario ini mempunyai konsekuensi tidak hanya bagi Tiongkok, namun juga bagi mitra dagang globalnya, termasuk Indonesia. Kinerja perekonomian Tiongkok sangat mempengaruhi dinamika perdagangan internasional, karena Tiongkok berfungsi sebagai pusat utama rantai pasokan global. Pergeseran apa pun dalam lintasan perekonomian Tiongkok dapat berdampak pada berbagai sektor dan pasar.

Berdasarkan pemahaman ini, menjadi jelas bahwa memahami nuansa pemulihan ekonomi Tiongkok merupakan hal yang sangat penting bagi pembuat kebijakan dan dunia usaha. Mengantisipasi potensi tantangan dan peluang yang muncul dari lanskap ekonomi Tiongkok akan memungkinkan pengambilan keputusan dan strategi yang lebih tepat. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terus berlanjut, Indonesia harus tetap menyesuaikan diri dengan dinamika yang berkembang dalam perekonomian negara-negara tetangganya, karena dinamika ini pasti akan membentuk narasi perekonomian regional dan global yang lebih luas.

Kesimpulan
Di tengah pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, perjalanan Indonesia menuju kesejahteraan yang berkelanjutan memerlukan penyelesaian tantangan-tantangan yang ditimbulkan oleh menyusutnya ekspor dan impor, menurunnya industri, dan deindustrialisasi. Dengan memprioritaskan diversifikasi ekspor, mengatasi deindustrialisasi, dan mendorong transformasi industri berkelanjutan, Indonesia dapat mencapai keseimbangan yang harmonis antara kemajuan dan keberlanjutan. Pendekatan yang seimbang ini akan memungkinkan Indonesia mengatasi jebakan pendapatan menengah dan mencapai ambisinya menjadi negara yang makmur dan berketahanan. Yang terpenting, kita harus terhubung kembali dengan aspirasi besar bangsa kita, yang berupaya melepaskan diri dari cengkeraman jebakan negara berpendapatan menengah. Perjalanan kita memerlukan serangkaian strategi, kebijakan, dan inisiatif yang terus-menerus, yang memastikan bahwa sebagai sebuah bangsa, kita tidak menjadi tua sebelum menjadi kaya. Intinya, langkah ke depan memerlukan komitmen yang teguh untuk mempertahankan momentum menuju kemakmuran, dan untuk memastikan bahwa impian kekayaan nasional menjadi kenyataan, bukan hanya sekedar khayalan belaka.

==========

*) Pegawai Negeri pada Sekretariat Kabinet Republik Indonesia