JAKARTA – Ekonomi terbesar di Asia Tenggara itu sedang mempertimbangkan apakah akan menutup atau membiayai kembali maskapai nasionalnya, Garuda Indonesia, di tengah perdebatan yang secara luas dianggap mewakili dua kubu: kubu yang emosional dan kubu yang fokus pada keuntungan.
Garuda berjuang untuk menghasilkan keuntungan bahkan sebelum pandemi COVID-19.
Kementerian Badan Usaha Milik Negara baru-baru ini memberikan empat opsi – tiga yang pertama membuat maskapai berusia 72 tahun itu tetap terbang, dan yang keempat menutupnya.
Agar Garuda tetap terbang meski pendapatan turun dan utang besar, pemerintah harus menyuntikkan likuiditas; Mengumumkan pembekuan utang, diikuti dengan restrukturisasi; Atau pergi untuk regenerasi utang saat mendirikan sebuah maskapai penerbangan yang akan mengambil alih rute Garuda, sesuai dengan tiga solusi pertama yang disarankan.
Pandemi telah menghancurkan perjalanan global, sangat mempengaruhi pemain utama seperti Singapore Airlines dan Emirates, maskapai nasional Uni Emirat Arab.
Pendapatan Garuda mungkin menyusut menjadi $ 1,67 miliar (S $ 2,24 miliar) tahun lalu, dari $ 4,57 miliar tahun sebelumnya, menurut catatan penelitian yang disiapkan oleh pialang saham Ciptadana Sekuritas Asia yang berbasis di Jakarta.
Maskapai ini belum mengumumkan hasil keuangan penuh 2020. Pada Kamis (17 Juni), ia gagal membayar utang syariah senilai US$500 juta.
Rekaman viral pidato CEO Garuda Irfan Setiaputra kepada karyawan baru-baru ini, yang isinya kemudian dikonfirmasi oleh manajemen, mengungkapkan bahwa pihaknya berencana untuk mengurangi armada hingga 50 persen, memberhentikan karyawan, dan menjual aset.
“Yang benar adalah utang kami telah mencapai 70 triliun rupee ($ 6,5 miliar) dan setiap bulan meningkat lebih dari satu triliun rupee,” rekaman itu terdengar.
Dalam pengajuan 10 Juni ke Bursa Efek Indonesia, dilaporkan bahwa Garuda telah mengembalikan dua pesawat Boeing 737-800NG kepada lessor dan sedang dalam diskusi dengan perusahaan lain untuk merestrukturisasi persyaratan sewa. Saat ini mengoperasikan 142 pesawat.
Maskapai ini mengalami debt rollover pada tahun 2006 untuk membantunya menghasilkan keuntungan. Tetapi budaya mengakar dalam pengadaan dan salah urus, di antara faktor-faktor lain, terus mengganggu Garuda bahkan ketika berjuang melawan pesaing berbiaya rendah.
Tahun lalu, mantan CEO Americia Star dijatuhi hukuman delapan tahun penjara karena menerima suap untuk mendukungnya mendapatkan kontrak untuk membeli pesawat Bombardier, Airbus dan ATR serta mesin Rolls-Royce.
Secara terpisah, penyelidik penipuan Inggris sedang menyelidiki Bombardier atas kontrak yang terkait dengan Garuda, menurut Kantor Penipuan Serius.
“Terus terang, ini masalah yang sudah lama dan mengakar. Kita hanya bisa membiarkan swasta yang terbang, atau mengundang operator asing,” kata seorang pejabat senior pemerintah dalam diskusi baru-baru ini dengan editor bisnis di Jakarta.
“Dengan cara ini kita tidak akan membebani wajib pajak dan masyarakat terbang,” tambahnya.
Tapi wakil dari partai yang berkuasa dan oposisi memiliki pendapat lain. Mereka mendesak pemerintah untuk menyelamatkan Garuda, di antaranya Dede Yevre Situros dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang berkuasa, menyebutnya “pusat industri penerbangan Indonesia”.
Mereka mencatat bahwa maskapai tidak hanya menyediakan pekerjaan, tetapi juga memberikan kesempatan kerja di sektor terkait seperti penanganan darat di bandara dan pos kilat.
Hermann Giron, anggota komite parlemen yang mengawasi perusahaan milik negara dan investasi, mengatakan mayoritas di komite mendukung menjaga agar Garuda tidak stabil karena merupakan aset yang dibanggakan bangsa.
“Kami telah melakukan pertemuan dengan menteri BUMN untuk bergerak cepat, dan memungkinkan Garuda untuk mengambil tindakan yang akan meningkatkan tekanan operasi,” kata Hermann, seorang oposisi Demokrat, kepada Straits Times, Kamis.
Dia menyampaikan seruan Pak Didi kepada pemerintah untuk menyiapkan restrukturisasi keuangan dan organisasi untuk Garuda agar tampil lebih kuat pascapandemi.
More Stories
Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen hingga 5,5 persen pada tahun 2025.
Indonesia siap menjadi ekonomi hijau dan pusat perdagangan karbon global
Indonesia berupaya menggenjot sektor ritel untuk mendukung perekonomian