POSPAPUA

Ikuti perkembangan terkini Indonesia di lapangan dengan berita berbasis fakta PosPapusa, cuplikan video eksklusif, foto, dan peta terbaru.

Sop bakso di Instagram: (Tidak) membuat gunung dari tahi lalat

Sop bakso di Instagram: (Tidak) membuat gunung dari tahi lalat

Badai telah terjadi di Indonesia karena seorang influencer makanan menikmati sepiring sup bakso dengan biskuit non-halal. Orang yang berkepala dingin seharusnya menang.

Mengelola kepekaan umat beragama di Indonesia merupakan tugas yang sulit. Namun tingkat kerumitannya meningkat ketika seseorang mencoba mempertahankan merek halal di wilayah yang mayoritas non-Muslim dan memiliki sejarah terorisme Islam. Hal ini ditunjukkan di Bali baru-baru ini, ketika terjadi badai karena rekaman video hidangan sederhana berupa sup bakso halal yang disajikan dengan bahan-bahan non-halal. Pelajaran yang dapat diambil dari sini adalah bahwa pendekatan yang tidak seimbang terhadap isu-isu tersebut akan dengan mudah menyinggung perasaan masyarakat non-Muslim, dan mungkin dipandang oleh umat Islam dari luar sebagai tindakan yang terlalu sedikit atau bahkan terlalu berlebihan. Dalam kasus seperti ini, toleransi dan kepekaan beragama sangatlah penting.

Pada tanggal 18 Juli, influencer makanan Jovi Adhijuna memposting video pendek di Instagram yang menunjukkan bagaimana dia menikmati sup bakso di restoran A Fung di Bali dengan menambahkan kerupuk babi. Gerai Fung adalah jaringan restoran bersertifikat halal yang terkenal dengan sup baksonya. Tidak jelas apakah Joffe, yang bukan Muslim, melakukan hal tersebut untuk memancing reaksi masyarakat, atau apakah dia yakin A Fung adalah restoran Cina yang menjual makanan non-halal. Apapun alasannya, video tersebut telah memancing sejumlah netizen dan kembali menguji pluralisme agama di Indonesia.

akun Tik Tok @pawpaw.kids mengunggah video pendek Jovi Itu menjadi viral dan diunggah ulang oleh TikToker lain Akun Dan Youtube Saluran. Banyak netizen yang mengkritik video tersebut, dengan @pepaya.anak-anak Menghimbau kepada non-Muslim untuk tidak membawa makanan non-halal ke restoran halal Untuk menjamin ketenangan pikiran bagi umat Islam“.

READ  Seorang ekonom mendukung gagasan Sandiaga Uno untuk menjadikan Harpetnas sebagai hari libur

Jovi secara terbuka meminta maaf kepada seluruh umat Islam dan manajemen A Fung. Khawatir kehilangan pelanggannya yang beragama Islam, tim manajemen memecahkan piring dan peralatan makan yang digunakan Jovi. Hal ini juga beredar di media sosial, dan kemungkinan besar merupakan isyarat simbolis dari A Fung atas ketidaksetujuannya terhadap Jovi, dan komitmennya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi halal umat Islam. Tujuannya adalah untuk meyakinkan umat Islam bahwa tidak ada satu pun piring atau peralatan makan yang digunakan di restoran tersebut yang terkontaminasi daging babi, dan bahwa restoran tersebut masih aman bagi umat Islam.

Sayangnya, pecahnya mangkok di lokasi restoran yang terletak di pulau Bali yang mayoritas penduduknya beragama Hindu itu menuai reaksi keras dari warga sekitar. Anggota Dewan Arya Weedkarna mengkritik langkah tersebut dan mengatakan demikian Tindakan ini menghina komunitas Hindu Di pulau itu, banyak umat Hindu Bali yang memakan daging babi dan bekerja sebagai peternak babi. Dia menuntutnya Sebuah restoran Fung di Bali menyajikan daging babi, selain menyajikan makanan halal, untuk menunjukkan bahwa restoran tersebut adil terhadap peternak babi di Bali. Dia mengancam akan menutup restoran tersebut jika tidak memenuhi tuntutannya. Bahkan ulama terkemuka asal Jawa Barat, Buya Yahya, menilai reaksi A Phong sudah keterlaluan. Daripada memecahkan mangkuk, pihak restoran cukup membersihkannya dengan sabun dan air. Ia mengatakan bahwa hal ini akan menjadi reaksi yang tidak emosional bagi umat Islam dan menunjukkan keindahan Islam.

Sensitivitas agama telah menjadi isu sensitif di Indonesia bahkan di daerah terpencil, seiring dengan semakin banyaknya orang yang mengakses internet. Internet telah memungkinkan mereka untuk mengekspresikan pendapat mereka secara bebas dan terbuka. Dulu, komentar seperti itu membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai ke ranah publik, namun kini komentar tersebut menyebar dalam hitungan detik. Satu klik yang tidak bertanggung jawab di media sosial dapat meningkatkan kontroversi seperti yang ditunjukkan oleh reaksi restoran Jovi’s dan A Fung. Masyarakat perlu belajar dari pengalaman masa lalu di mana eksploitasi terhadap kepekaan agama dapat menyebabkan kerusuhan yang menghancurkan, seperti yang terjadi di Tanjung Balai, provinsi Sumatera Utara, pada bulan Juli 2016. Postingan media sosial anti-Tiongkok di Indonesia Provokasi Warga Muslim merusak dan menghancurkan tiga rumah ibadah Buddha dan enam rumah ibadah Konghucu. Hal ini disebabkan adanya perdebatan sengit antara seorang wanita Tionghoa Indonesia dan warga Muslim mengenai ukuran masjid Azan Atau azan. Menjelang pemilihan presiden tahun 2024, situasi sosial dan politik memberikan lahan subur bagi kelompok untuk mengeksploitasi kepekaan agama demi keuntungan politik.

Kontroversi A Fung menjadi pelajaran tidak hanya bagi Jovi dan tim manajemen A Fung tetapi juga bagi umat beragama di Indonesia: masyarakat harus lebih peka terhadap keyakinan dan praktik agama yang berbeda di negara yang beragam agama.

Indonesia perlu berinvestasi dalam pelatihan multikultural bagi perusahaan untuk menghindari terulangnya kontroversi serupa. Insiden seperti ini dapat merugikan bisnis mereka. Pelatihan dapat meningkatkan kepekaan keagamaan karyawannya dan mengembangkan pemahaman yang lebih baik tentang agama dan praktik lain. Namun yang lebih penting, pemerintah dan tokoh agama perlu bekerja sama untuk mendorong rasionalitas dan toleransi. Pemerintah dapat menyediakan lebih banyak dana untuk mendorong para pemimpin agama, influencer media sosial, dan guru sekolah untuk mempromosikan rasionalitas dan toleransi. Hal ini dapat dilakukan melalui seminar, kampanye media sosial dan kurikulum sekolah.

READ  Kontribusi Keamanan Siber di ASEAN-Jepang, Dosen UI Diganjar Penghargaan

Tokoh agama, khususnya, dapat menarik masyarakat umum untuk bersikap lebih rasional karena mereka mempunyai legitimasi agama yang lebih besar dibandingkan tokoh masyarakat lainnya seperti ketua lingkungan atau pejabat pemerintah. Kampanye harus menyampaikan pesan bahwa umat beragama tidak perlu bereaksi berlebihan jika menghadapi ekspresi di ruang publik yang menggugah atau menggugah perasaan keagamaannya. Singkatnya, mereka harus diam agar tidak kehilangan rasa hormat masyarakat. Selain itu, membesar-besarkan masalah juga dapat merusak citra agama mereka sehingga mendorong irasionalitas. Terakhir, pemerintah dapat membantu dengan menyediakan kurikulum sekolah yang mengedepankan toleransi dan pikiran rasional. Meskipun upaya untuk meningkatkan toleransi sulit dilakukan, hal ini layak untuk dilakukan.

Kontroversi A Fung menjadi pelajaran tidak hanya bagi Jovi dan tim manajemen A Fung tetapi juga bagi umat beragama di Indonesia: masyarakat harus lebih peka terhadap keyakinan dan praktik agama yang berbeda di negara yang beragam agama. Jika kepekaan beragama ini tidak dikelola, maka hal ini tidak hanya akan merugikan toleransi beragama yang telah lama ada di Indonesia, namun juga berdampak negatif terhadap vitalitas perekonomian Indonesia.

2023/212