Dewan Redaksi (The Jakarta Post)
Jakarta
Rabu 30 Juni 2021
Pandemi COVID-19 telah menyebabkan kesulitan utang bagi banyak pemerintah di seluruh dunia – tidak terkecuali Indonesia.
Krisis kembar kesehatan dan ekonomi telah melumpuhkan perekonomian. Pembatasan ketat pada mobilitas sosial menyebabkan ekonomi berkontraksi sekitar 2,2% pada tahun 2020, yang menyebabkan pendapatan pajak yang lebih rendah pada saat pemerintah membutuhkan lebih banyak uang untuk memerangi pandemi dan mendanai program bantuan sosial untuk kelompok rentan.
Yang pasti, krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya membutuhkan tindakan berani yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tahun lalu pemerintah menggandakan defisit fiskal menjadi lebih dari 6% dari PDB. Pembiayaan tambahan yang besar hanya dapat dicapai dengan meminjam dari pasar keuangan domestik dan internasional. Akibatnya, utang pemerintah meningkat tahun lalu sekitar 30 persen menjadi 6,07 kuadriliun rupee (US$433,5 miliar).
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pekan lalu memperingatkan pemerintah agar lebih berhati-hati dalam mengajukan pinjaman baru karena, diukur dari tiga indikator kerentanan utang yang diidentifikasi Dana Moneter Internasional, tingkat utang pemerintah mengkhawatirkan. dan batasnya mendekati ketidakberlanjutan.
Tiga rangkaian indikator mengukur risiko yang ditimbulkan oleh kondisi ekonomi saat ini pada utang publik, menilai kemampuan pemerintah untuk memenuhi keadaan darurat yang akan datang, dengan mempertimbangkan beberapa kondisi yang diharapkan, dan menunjukkan kinerja pasar kewajiban.
Tetapi pemerintah suka mengutip indikator yang banyak digunakan, rasio total utang terhadap PDB, untuk menunjukkan kinerja utangnya. Memang, persentasenya, yang melonjak dari hanya 30% pada 2019 menjadi 40% pada 2020, masih di bawah pagu legal 60%.
Persentasenya sudah rendah dibandingkan dengan 68% di Malaysia, 51% di Thailand, 62% di Cina dan 90% di India. Namun perdebatan mengenai kinerja utang Indonesia seringkali mengabaikan dua kelemahan utama. Biaya pinjaman pemerintah, baru-baru ini diperkirakan rata-rata 6 persen per tahun (berdasarkan imbal hasil obligasi 10 tahun), sudah termasuk yang tertinggi di kawasan, dengan Filipina membayar rata-rata 2,9 persen, Malaysia 2,7 persen, dan Vietnam 2.4. persen dan Thailand 1,2 persen.
Kelemahan lainnya adalah rasio penerimaan pajak terhadap PDB Indonesia yang sangat rendah, yang diperkirakan rata-rata 10 persen sebelum 2019, termasuk yang terendah di kawasan ini dan jauh di bawah minimum 15 persen yang direkomendasikan oleh Bank Dunia untuk manajemen. Tak heran bila rasio pembayaran bunga utang pemerintah terhadap total pendapatan hampir mencapai batas maksimal 19 persen, sebagaimana ditetapkan Dana Moneter Internasional, sedangkan rasio pembayaran utang (angsuran dan pembayaran bunga) terhadap total pendapatan saat ini masih sangat rendah. diperkirakan sebesar 46, persen. , melebihi batas maksimum yang ditetapkan oleh Dana Moneter Internasional sebesar 35 persen
Mengingat ketidakpastian yang berkepanjangan tentang pandemi dan dampaknya terhadap perekonomian, cara paling efektif untuk mengatasi kelemahan jangka pendek adalah dengan melakukan reformasi pajak yang berani untuk meningkatkan administrasi perpajakan dan kebijakan perpajakan guna memperluas basis pajak. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR mutlak harus mempercepat pembahasan RUU Perpajakan secara komprehensif sehingga semua peraturan pelaksanaannya sudah ada untuk diimplementasikan secara penuh pada tahun 2022.
More Stories
Indonesia menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen hingga 5,5 persen pada tahun 2025.
Indonesia siap menjadi ekonomi hijau dan pusat perdagangan karbon global
Indonesia berupaya menggenjot sektor ritel untuk mendukung perekonomian