POSPAPUA

Ikuti perkembangan terkini Indonesia di lapangan dengan berita berbasis fakta PosPapusa, cuplikan video eksklusif, foto, dan peta terbaru.

Masyarakat Indonesia menginginkan badan legislatif yang lebih beragam

Masyarakat Indonesia menginginkan badan legislatif yang lebih beragam

Sebagian besar komentar domestik dan internasional mengenai pemilu 14 Februari di Indonesia terfokus pada pemilihan presiden. Namun pada hari yang sama, masyarakat Indonesia juga akan memilih legislator tingkat kabupaten, provinsi, dan nasional. Hampir 10.000 kandidat akan bersaing di Majelis Nasional saja, pemilu legislatif keenam di Indonesia sejak jatuhnya rezim diktator Suharto pada tahun 1998.

Pemilu legislatif sedang berjalan lancar di Indonesia. Poster kampanye ditempel di jalan beberapa bulan sebelum hari pemungutan suara, para kandidat mengadakan acara publik yang intens, dan mereka membuat kampanye media sosial yang canggih. Sebagian besar kandidat dan tim kampanye mereka (sering kali sangat besar) menginvestasikan sumber daya keuangan yang sangat besar untuk menyalurkan dukungan, menyediakan segala sesuatu mulai dari beras dan minyak goreng hingga pakaian dan uang.

Indonesia mempunyai jumlah pemilih yang besar dibandingkan daerah dan rata-rata OECD, dan masyarakat Indonesia melaporkan dukungan yang kuat dan konsisten terhadap sistem demokrasi dan pemilihan legislatif mereka. Pada saat yang sama, rata-rata pemilih juga skeptis terhadap partai politik dan Majelis Nasional: Selama referendum, masyarakat Indonesia biasanya memilih partai dan Parlemen Nasional, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Daftar perusahaan yang mereka percayai. (Militer dan presiden biasanya berada di posisi teratas.)

Jadi, menurut para pemilih di Indonesia, apa yang harus dilakukan oleh para pembuat undang-undang, dan parlemen seperti apa yang sebenarnya mereka inginkan?

Sebagai bagian dari proyek yang lebih luas mengenai keterwakilan politik di Indonesia, kami melakukan survei keterwakilan secara nasional pada bulan Juni 2023, yang mengukur bagaimana masyarakat Indonesia memandang keterwakilan demokratis dan bagaimana perasaan mereka terhadap struktur parlemen dan apakah parlemen tersebut mewakili masyarakat Indonesia pada umumnya. Legislator melakukannya. Survei tersebut mewawancarai 1.200 responden secara tatap muka, dengan margin of error +/-2,9%.

Hasilnya mengejutkan: sebagian besar masyarakat Indonesia menyatakan dukungan kuat terhadap parlemen yang lebih egaliter, dan terhadap kerja legislatif yang berfokus pada kebijakan proyek dibandingkan proyek-proyek tertentu. Di sini kami menyajikan gambaran singkat dari beberapa temuan kami.

Apakah para pemilih merasa badan legislatif mereka mewakili secara luas?

Kami bertanya kepada responden mengenai sejauh mana menurut mereka pemilu dapat menciptakan parlemen yang mencerminkan pandangan dan kepentingan pemilih. Masyarakat Indonesia terbagi: sekitar 47% berpendapat bahwa parlemen mencerminkan kepentingan para pemilih, sementara 45% tidak setuju (lihat Gambar 1 di bawah).

READ  Indonesia dan Uzbekistan perkuat kerja sama industri minyak nabati melalui MoU di Tashkent

Gambar 1: Apakah DPR mencerminkan pandangan dan kepentingan pemilih?

Ketika kita menggali lebih dalam data, indikator kelas, dan khususnya di bidang pendidikan, Negatif Pandangan terhadap kemampuan DPR dalam mencerminkan kepentingan pemilih. Misalnya, hampir 60% masyarakat Indonesia yang berpendidikan universitas, dan 65% masyarakat Indonesia yang berada pada kelompok berpendapatan atas (yaitu 4 juta rupiah/A$400 per bulan) merasa bahwa parlemen tidak memainkan peran perwakilannya.

Ironisnya, sebagian besar legislator memiliki latar belakang yang sama dengan para kritikus mereka yang paling kritis, yaitu mereka berpendidikan tinggi, kaya, dan tinggal di perkotaan. Ketika kampanye politik menjadi lebih mahal di Indonesia, kandidat dari kelas atas menikmati perolehan suara yang besar. Meskipun demikian, masyarakat kelas bawah cenderung menganggap bahwa parlemen mencerminkan kepentingan para pemilih secara luas.

Peta spektrum politik Indonesia

Sebuah survei baru menunjukkan bahwa partai politik hanya terpecah belah karena sikap mereka terhadap Islam.


Salah satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa politisi terpilih memenuhi kebutuhan pemilih kelas bawah. Secara umum, hubungan legislator terbentuk atas dasar pribadi, sering kali melalui penyediaan barang dan jasa (makanan, uang, akses terhadap tempat tidur rumah sakit dan layanan lainnya). Masyarakat kelas bawah lebih membutuhkan bantuan tersebut dibandingkan masyarakat kelas atas di Indonesia, yang tidak terlalu bergantung pada legislator untuk bertindak sebagai perantara dalam urusan mereka dengan negara. Sebaliknya, pemilih kelas atas dan menengah kurang berinteraksi dengan legislator selama masa kampanye atau pemilu paruh waktu.

Menurut pemilih, apa yang harus dilakukan legislator?

Kami menanyakan kepada responden apa yang menurut mereka merupakan dua tugas paling penting dari legislator. Setiap opsi dirancang untuk mencerminkan cara unik pemilih berpikir mengenai keterwakilan. Opsi #1 dan #3 pada Gambar 2 (di bawah) mencerminkan gagasan bahwa perwakilan harus bertindak terutama untuk memenuhi kebutuhan nyata konstituen. Kami berharap ini menjadi pilihan yang populer karena mencerminkan hubungan pelanggan yang dibangun oleh anggota DPR di Indonesia dengan konstituennya. Opsi #2 dan #4 menangkap pemahaman program atau kebijakan mengenai fungsi legislatif dan pada gilirannya representasi.

Gambar 2: Apa fungsi utama legislator? (Pilih maksimal dua)

Tanggapan yang diberikan kembali beragam, dimana mereka melihat tugas terpenting anggota DPR adalah mengorganisir bantuan pemerintah bagi anggotanya atau sebagai peran utama mereka dalam mendorong kebijakan dan peraturan secara lebih luas untuk kepentingan masyarakat. Sepertiga peserta menganggap program pembangunan merupakan tugas utama perwakilan, dan jumlah serupa percaya bahwa perwakilan terpilih harus memenuhi janji-janji program partai.

DPR seharusnya seperti apa?

Bagaimana dengan komposisi DPR? Apakah masyarakat Indonesia merasa bahwa kelompok sosial utama di Indonesia cukup terwakili dalam komposisi Parlemen Nasional?

Pertanyaan ini mengacu pada karya ilmiah yang meneliti dukungan Deskriptif Representasi: Gagasan bahwa pemilih harus diwakili oleh anggota kelompoknya sendiri berdasarkan gender, ras, agama, kelas, atau jenis identitas lainnya. Jika diterapkan pada suatu negara secara keseluruhan, maka hal ini menunjukkan bahwa badan legislatif harus terdiri dari komposisi individu-individu dari kelompok-kelompok yang mencerminkan komposisi masyarakat yang lebih luas: sebagai badan perwakilan, badan tersebut harus menyerupai negara yang diwakilinya. Logikanya adalah bahwa perwakilan politik yang tergabung dalam kelompok tertentu akan melakukan advokasi terbaik untuk hak, kepentingan, dan kebutuhan kelompok tersebut.

Survei kami menanyakan serangkaian pertanyaan untuk mengukur seberapa penting bentuk keterwakilan ini bagi masyarakat Indonesia dan apakah mereka menginginkan DPR yang berbeda secara deskriptif. Kami meminta mereka untuk setuju atau tidak setuju dengan pernyataan berikut:

  1. Di DPR, hanya anggota kelas menengah ke bawah (seperti petani atau pekerja) yang bisa mewakili pandangan dan kepentingan kelas menengah ke bawah secara efektif.
  2. Di DPR, hanya legislator perempuan yang dapat mewakili pandangan dan kepentingan perempuan secara efektif.
  3. Di DPR, hanya anggota legislatif dari kelompok agama minoritas (Kristen, Hindu, Budha, Konghucu) yang dapat secara efektif mewakili pandangan dan kepentingan kelompok agama minoritas.

Gambar 3: Representasi ilustratif

Hasilnya mengejutkan: masyarakat Indonesia sangat mendukung keterwakilan kepentingan kelas yang ekspresif, dan hal ini penting (seperti disebutkan di atas) karena Majelis Nasional Indonesia hampir seluruhnya terdiri dari para elit yang latar belakang profesionalnya terkonsentrasi di sektor swasta.

Gagasan bahwa hanya perempuan yang benar-benar dapat mewakili perempuan juga mendapat dukungan kuat. Tanggapan yang lebih terpecah ketika menyangkut kelompok agama minoritas, menunjukkan adanya ambivalensi di antara penduduk mayoritas Muslim di Indonesia terhadap gagasan bahwa kebutuhan non-Muslim paling baik dipenuhi melalui perwakilan politik.

Sebagai tindak lanjutnya, kami menanyakan kepada responden apakah menurut mereka jumlah legislator di komite-komite tersebut perlu ditambah. Hasilnya kembali menunjukkan dukungan yang sangat kuat terhadap peningkatan jumlah masyarakat kelas bawah dan menengah di parlemen nasional, dengan dukungan lebih dari 80%, dan peningkatan keterwakilan perempuan. Sangat sedikit dukungan untuk meningkatkan kehadiran non-Muslim di Parlemen.

Gambar 4: Peningkatan representasi deskriptif

Kesimpulan

Survei kami menunjukkan bahwa banyak masyarakat Indonesia yang memiliki keinginan yang sama untuk membentuk parlemen yang lebih egaliter, dimana warga negara dan perempuan yang terpinggirkan dapat terwakili dengan lebih baik. Masyarakat Indonesia percaya bahwa pembuat undang-undang harus membuat kebijakan dan peraturan yang mengutamakan kepentingan publik (walaupun pemahaman tentang keterwakilan yang berpusat pada dukungan juga mendapat dukungan luas).

Sikap masyarakat ini bertolak belakang dengan kenyataan yang terjadi di Indonesia saat ini. Sebagian besar anggota parlemen adalah orang-orang kaya dan banyak yang terjun ke dunia politik setelah berkarir di dunia bisnis dan menggunakan pengaruh politik mereka untuk memajukan kepentingan keuangan mereka. Ketika biaya politik meningkat, kandidat-kandidat tersebut mempunyai keuntungan elektoral, karena petahana dapat menggunakan program pemerintah dan dana parlemen untuk mendukung kampanye mereka. Meskipun terdapat potensi adanya permintaan perubahan dari masyarakat akar rumput, hambatan ‘sisi penawaran’ ini sepertinya tidak akan berubah dalam waktu dekat: hambatan masuk bagi calon independen masih tetap tinggi, dan partai politik terus mencari calon yang memiliki sumber daya yang baik dan dapat berkomitmen dalam kampanye mereka. .

Meskipun survei kami menemukan adanya dukungan terhadap keterwakilan perempuan, kandidat perempuan cenderung tidak memiliki sumber daya ekonomi untuk mencalonkan diri dan menghadapi ketidaksukaan yang besar. Ada sikap patriarki yang menyatakan bahwa laki-laki paling cocok untuk peran kepemimpinan publik. Namun keinginan publik yang belum terpenuhi untuk membentuk badan legislatif yang berbeda—yang mencakup lebih banyak orang dan kepentingan—lebih penting dan dapat dilaksanakan dibandingkan apa yang disadari oleh para sarjana atau politisi.