POSPAPUA

Ikuti perkembangan terkini Indonesia di lapangan dengan berita berbasis fakta PosPapusa, cuplikan video eksklusif, foto, dan peta terbaru.

Tingkat bahaya banjir yang ekstrim diumumkan di Danau Manich, Sumatera Barat, hari ini, menunjukkan cuaca ekstrim dan penangkapan ikan yang berlebihan.

Cuaca ekstrim dan penangkapan ikan berlebihan

Ketika aktivitas penangkapan ikan di Danau Maninchao meningkat satu dekade lalu, kematian massal ikan menjadi masalah yang berulang, terutama dalam budidaya, termasuk keramba jaring apung.

Tommy Adam, pengacara untuk WALHI, LSM lingkungan untuk Sumatera Barat, mengatakan penduduk setempat yang tinggal di dekat Danau Maninchau, yang merupakan petani padi, telah beralih ke perikanan pada awal 1990-an.

Banyak dari mereka yang menggunakan keramba apung untuk menanam dan memanen ikannya.

“Mereka sangat sukses karena berhasil menangkap ikan nila dan ikan nila lainnya dalam jumlah besar,” kata Adam.

Dia mencatat ada sekitar 27.000 keramba ikan di danau, sementara peraturan standar hanya mengizinkan 7.000 keramba di area Danau Maninchau seluas 99,5 km persegi.

Upaya pemerintah daerah untuk mengatur budidaya ini belum berhasil karena banyak penduduk setempat yang bergantung pada penangkapan ikan untuk mata pencaharian mereka.

Di antara aturan yang sering dilanggar oleh pembudidaya ikan adalah perlunya mereka mengontrol jumlah keramba jaring apung yang dapat mereka gunakan per zona penangkapan. Hal ini dilakukan untuk mencegah mereka berkerumun di area tertentu dan untuk menghindari penangkapan ikan yang berlebihan di sana.

Adam mengatakan Danau Maninchaw adalah danau kaldera yang terbentuk dari letusan gunung berapi dan mengandung belerang, yang beracun bagi ikan, yang dapat memperburuk masalah penangkapan ikan yang berlebihan.

“Iklim laut di Danau Maninchao sedemikian rupa sehingga pada malam hari angin bertiup sangat kencang sehingga menaikkan massa air di atasnya, yang disebut upwelling dalam oseanografi.

“Jika itu terjadi, belerang dan limbah ikan akan sangat meningkat akibat penangkapan ikan sehingga menyebabkan ikan mati lemas karena kekurangan oksigen,” katanya.

“Naik dan turun biasa terjadi di sana tetapi situasinya semakin buruk karena perubahan iklim. Sekarang cuacanya tidak bisa diprediksi, tiba-tiba ada hujan lebat, dan tiba-tiba angin kencang bertiup, ”kata Pak Adam.

Menurut Bapak Adam, para pejabat telah dapat meramalkan cuaca di masa lalu sehingga mereka dapat memperingatkan para pembudidaya ikan ketika mereka sedang memanen ikan sebelum angin kencang datang.

“Ada tanda-tanda peringatan untuk mereka, tapi sekarang saya pikir perubahan iklim telah mempengaruhi cuaca lokal, jadi tidak bisa diprediksi lagi,” katanya.

Dengan penangkapan ikan yang berlebihan, itu membuat seluruh situasi menjadi lebih buruk, tambahnya.

Profesor Hafrizal Siandri, pakar perikanan dari Universitas Punghatta di Padang, sependapat.

Dia percaya bahwa selain penangkapan ikan yang berlebihan, sejumlah besar ikan hanya akan mati jika ada cuaca buruk.

Ketika Profesor Siandri terakhir mengunjungi danau pada awal Januari tahun ini, cuaca cerah dan ikan tidak mati dalam jumlah besar.

“Saya pergi ke sana beberapa hari yang lalu dan sudah ada orang yang menyebarkan benih baru.

“Jadi, bagi mereka, kematian ikan massal tidak menjadi masalah. Mereka sudah tahu bahwa ikan akan mati massal mulai November, kami hanya membuat keributan, ”katanya.

Sayantri mengatakan kepada profesor bahwa meskipun masyarakat setempat tidak berpikir bahwa sejumlah besar ikan menderita kerugian besar karena kematian ikan, itu masih menjadi masalah.

“Bila lebih dari 1.000 ton ikan mati, ke mana sebaiknya mayatnya dibuang,” tanyanya.

Namun, pelepasan ikan mati ke danau akan mempengaruhi kualitas air dan bau busuk juga akan mempengaruhi lingkungan.

“Danau ini dulunya tujuan wisata, dan sekarang bukan karena baunya,” tambah Profesor Syantri seraya menambahkan bangkai ikan mati masih mengambang di permukaan saat terakhir kali mengunjungi danau.