Dewan Redaksi (Jakarta Post)
Jakarta
Senin, 11 Oktober 2021
Langkah-langkah reformasi sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diatur dalam Undang-Undang Kepatuhan Peraturan Perpajakan yang disetujui DPR pada hari Kamis sangat komprehensif dan berani, termasuk meningkatkan item PPN untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan pemerataan dan tarif PPN ke meningkatkan beberapa tarif.
Sistem PPN Indonesia telah lama dikritik oleh analis keuangan domestik dan internasional karena terlalu sempit karena menawarkan terlalu banyak pengecualian dan insentif serta memberlakukan batas pendaftaran yang terlalu tinggi bagi perusahaan yang dikenakan PPN. Juga, itu hanya mengenakan tarif tunggal 10 persen, yang membuatnya sangat regresif.
Undang-undang baru akan menaikkan tarif PPN tetap dari 10 persen sekarang menjadi 11 persen pada April mendatang dan menjadi 12 persen pada 2025. Tetapi undang-undang tersebut memberi wewenang kepada negara untuk menetapkan tarif PPN tunggal dan final untuk barang dan jasa tertentu dan untuk segmen ekonomi tertentu. Memisahkan barang dan jasa berdasarkan siapa yang mengkonsumsinya dengan tarif berganda akan membantu konsumen mengenakan pajak secara bertahap. Oleh karena itu, banyak tarif PPN akan memiliki tarif tetap dan dikurangi tergantung pada konsumen barang dan jasa.
Undang-undang baru akan meningkatkan item PPN dengan membatasi secara ketat daftar negatif atau pengecualian.
Tentu saja, kombinasi beberapa tarif dan kenaikan produk PPN akan meningkatkan kepatuhan dan biaya administrasi, karena wajib pajak harus mengklasifikasikan produk mereka berdasarkan tarif PPN produk. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) harus memiliki sumber daya manusia yang cukup kompeten untuk memastikan bahwa klasifikasi oleh wajib pajak sesuai dengan aturan PPN yang berlaku.
Seperti kebanyakan hukum, iblis terletak pada detail teknis. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana pemerintah akan menentukan batas pendaftaran bagi perusahaan yang dikenakan PPN, karena perusahaan yang dikenakan pajak dengan sistem PPN harus membayar PPN untuk entri, tetapi mereka berhak untuk mengkreditkan PPN masukan dengan PPN keluaran yang dipungutnya. .
Tetapi undang-undang mengamanatkan pemerintah untuk menetapkan tarif PPN tunggal dan final untuk barang dan jasa tertentu, sementara usaha kecil dan menengah (UKM) wajib memungut PPN. Tarif akhir yang ditetapkan untuk barang dan jasa tertentu akan membebaskan produsen, terutama UKM, dari beban administrasi penghitungan dan pemungutan PPN.
Di bawah sistem baru, DJP harus mempersiapkan sumber daya manusia dan wajib pajaknya untuk memahami rincian teknis penghitungan dan pemungutan PPN, karena penerimaan PPN biasanya mencapai lebih dari 45 persen dari total penerimaan pajak.
Peningkatan penerimaan pajak menjadi penting karena pemerintah mewajibkan undang-undang untuk mengurangi defisit fiskal menjadi 5 persen pada tahun 2022 dan sebesar 2 poin persentase menjadi kurang dari 3 persen pada tahun 2023.
More Stories
Anies Baswedan berpeluang maju di Pilkada Jabar: Juru Bicara
Indonesia Atasi Utang Perumahan dengan Subsidi FLPP
Tarian terakhir Jokowi