Tempo.co, Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi atas kebaikan Gibran Rakabuming Rakah sarat dengan konflik kepentingan. Dewan Kehormatan harus memecat Anwar Usman.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengizinkan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, mencalonkan diri sebagai wakil presiden menunjukkan buruknya sistem hukum kita. Sebagai lembaga yang seharusnya melindungi konstitusi, Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman berupaya semaksimal mungkin untuk menjamin keikutsertaan menantunya pada Pilpres 2024.
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan hukum yang diajukan Almas Saghibirru untuk mengubah Pasal 169 ayat (q) UU Pemilu. Kepemimpinan di tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Akibat gugatan hukum tersebut, Gibran yang baru berusia 36 tahun bisa mencalonkan diri pada pemilu 2024 karena masih lajang.
Almas tidak mempunyai dasar hukum untuk menggugat pasal ini. Seorang mahasiswa hukum Universitas Surakartha tidak ada sangkut pautnya dengan isi permohonannya. Sekalipun gugatannya ditolak, ia tidak kehilangan hak konstitusionalnya. Posisinya hanya mengaku sebagai pengagum Gibran.
Seharusnya hakim Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut, apalagi mereka juga menolak gugatan lain mengenai batasan usia minimum calon presiden dan wakil presiden. Dalam beberapa kasus sebelumnya, hakim konstitusi telah meneliti legal standing penggugat, termasuk menolak gugatan jika penggugat tidak memiliki legal standing yang jelas. Namun para juri dengan cepat menindaklanjuti tantangan Almas.
Terlebih lagi, pengacara Almas telah mencabut pembelaannya pada tanggal 26 September, namun keesokan harinya ia membatalkan penarikan tersebut. Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa penggugat tidak serius dalam gugatannya. Peraturan Mahkamah Konstitusi no. 2/2021 jelas menyatakan. Namun alih-alih mengeluarkan putusan penarikan kembali permohonan, Mahkamah Konstitusi justru mengubah tanggal pembatalan penarikan permohonan.
Benturan kepentingan dalam kasus tersebut sudah terlihat jauh sebelum putusan dibacakan pada 16 Oktober lalu. Pada tanggal 9 September, dalam kuliah di Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Jawa Tengah, Anwar Usman berbicara tentang pentingnya memiliki pemimpin muda. Pernyataannya kepada mahasiswa baru tersebut mewakili pendapatnya terhadap kasus yang sedang ditangani Mahkamah Konstitusi.
Pelanggaran kode etik yang dilakukan Anwar Usman dalam kasus ini. Pasal 17 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman melarang hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengadili suatu perkara jika mereka atau keluarganya berkepentingan dengan putusan tersebut. Namun selain ikut serta dalam putusan tersebut, Anwar Usman diyakini telah mempengaruhi hakim lain untuk menyetujui gugatan tersebut.
Selain itu, dalam penilaiannya, Mahkamah Konstitusi menambahkan klausul dalam Pasal 169 UU Pemilu bahwa “selalu menduduki atau sedang menduduki suatu jabatan melalui pemilu, termasuk pemilu kepala daerah”. Namun, klausul ini tidak termasuk dalam tantangan. Tindakan hakim tersebut jelas melampaui kewenangannya karena bertindak layaknya pembentuk undang-undang.
Berdasarkan studi banding Tom Ginsburg pada tahun 2018, tindakan hakim konstitusi tersebut tidak sejalan dengan prinsip independensi, integritas, relevansi, dan kompetensi.
Ginsburg menemukan bahwa demokrasi sedang terbalik di banyak negara karena pengadilan konstitusi dibajak. Hal ini dilakukan dengan membatasi jumlah hakim, mulai dari proses pengangkatan hingga penggantian. Pembajakan Mahkamah Konstitusi Indonesia ini bermula ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memberhentikan Hakim Aswando karena sering membatalkan undang-undang yang telah ditetapkan DPR.
Dengan adanya pembajakan ini, sulit membayangkan bagaimana Mahkamah Konstitusi bisa menjadi arbiter yang adil dalam menyelesaikan sengketa terkait pemilu 2024. Jika dianalogikan dengan pertandingan sepak bola, hakim Mahkamah Konstitusi menjadi pemain ke-12 dalam sebuah tim.
Agar krisis tidak semakin parah, seharusnya Komite Kehormatan Mahkamah Konstitusi mengadakan pemeriksaan etik untuk mengusut dugaan pelanggaran yang dilakukan hakim termasuk Anwar Usman. Meski keputusannya tidak bisa dibatalkan, Dewan Kehormatan bisa memberhentikannya. Pembersihan ini penting untuk memulihkan kekuasaan Mahkamah Konstitusi dan mencegah kemunduran demokrasi.
“Pembaca yang ramah. Penggemar bacon. Penulis. Twitter nerd pemenang penghargaan. Introvert. Ahli internet. Penggemar bir.”
More Stories
Anies Baswedan berpeluang maju di Pilkada Jabar: Juru Bicara
Indonesia Atasi Utang Perumahan dengan Subsidi FLPP
Tarian terakhir Jokowi