POSPAPUA

Ikuti perkembangan terkini Indonesia di lapangan dengan berita berbasis fakta PosPapusa, cuplikan video eksklusif, foto, dan peta terbaru.

Modernitas versus tradisi di pusat kebudayaan Bali

Modernitas versus tradisi di pusat kebudayaan Bali

Di jantung pusat kebudayaan Bali, Ubud, pertarungan identitas sedang berlangsung. Kota yang tadinya sepi, terkenal dengan landmark spiritual dan ruang hijau subur, kini bergulat dengan gangguan modernitas, yang dipimpin oleh investor Rusia. Contoh mencolok dari hal ini adalah proyek “Kota Tersembunyi”, sebuah pembangunan dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menelan tiga hektar hutan di belakang kompleks “Eat Pray Love” yang terkenal.

Kota Tersembunyi: Realitas Baru Ubud Terungkap

Proyek Kota Tersembunyi mewakili kontras dengan arsitektur tradisional dan gaya hidup Bali. Ini mencakup 100 rumah, toko, restoran, gym, dan bahkan klub malam. Namun, itu tidak dirancang untuk menampung penduduk lokal. Sebaliknya, Ubud justru melayani investor asing dan digital nomad, sebuah kelompok demografis yang semakin menganggap Ubud sebagai rumah mereka.

Busbita dan suaminya, Gide, yang mengelola wisma di Ubud, termasuk di antara mereka yang menyaksikan transformasi tersebut dengan ketakutan. “Kami khawatir budaya kami akan terkikis,” kata Puspita, suaranya mencerminkan sentimen banyak penduduk setempat. Kekhawatiran serupa muncul mengenai proyek-proyek seperti proyek “Park”, proyek lain yang melayani masuknya orang asing.

Bentrokan budaya dan mengikis tradisi

Perbedaan budaya antara masyarakat lokal dan pendatang semakin terlihat jelas. Keluhan mengenai polusi suara, pesta larut malam, dan pengabaian terhadap adat istiadat setempat semakin meningkat. Terlebih lagi, masuknya investasi asing meningkatkan harga properti, sehingga menyulitkan penduduk lokal untuk membeli rumah di tanah leluhur mereka.

Ketegangan ini melampaui perbedaan budaya. Perkembangan yang pesat juga menimbulkan permasalahan lingkungan. Temesi Recycling, sebuah perusahaan Indonesia yang didirikan pada tahun 2004 untuk mengolah dan mendaur ulang sampah organik, menutup usahanya karena kondisi pasar yang sulit. Awalnya dikenal sebagai Proyek Pemulihan Sampah Gianyar, ini adalah organisasi Indonesia pertama yang menyelesaikan proses Mekanisme Pembangunan Bersih Protokol Kyoto, sehingga memungkinkan mereka untuk menjual kredit karbon.

READ  Diplomat senior China mengunjungi Serbia dan Albania untuk memperdalam hubungan

Daur Ulang Timisi: korban perkembangan pesat

Meski memproduksi 30 ton pupuk per hari, Temesi Recycling masih kalah bersaing dengan pupuk bersubsidi dan kondisi pasar yang tidak adil. Penutupan perusahaan daur ulang terkemuka ini menyoroti tantangan yang dihadapi oleh proyek ramah lingkungan di Ubud dan masalah erosi budaya yang lebih luas akibat pembangunan yang pesat.

Ketika Ubud terus berkembang, pertanyaannya tetap ada: Bisakah Ubud melestarikan warisan budayanya sambil merangkul modernitas? Jawabannya terletak pada keseimbangan antara kemajuan dan pelestarian warisan budaya, sebuah tantangan yang dihadapi banyak masyarakat di seluruh dunia saat ini.

Sekembalinya ke Ubud, Puspita dan Gede terus mengelola wisma mereka, berharap semangat tanah leluhur mereka tetap hidup di tengah hiruk pikuk pembangunan dan hiruk pikuk perbincangan asing. Kisah mereka merupakan pengingat yang menyentuh akan unsur kemanusiaan dalam tarian antara tradisi dan modernitas.

Proyek Kota Tersembunyi, yang merupakan simbol perkembangan pesat Ubud, sangat kontras dengan landmark spiritual kota ini. Masuknya investor asing dan digital nomad, yang tertarik dengan proyek seperti Park, menyebabkan ketegangan dengan komunitas lokal karena perbedaan budaya dan terkikisnya cara hidup tradisional.

Sementara itu, penutupan Temesi Recycling menyoroti tantangan yang dihadapi perusahaan daur ulang di Ubud dan masalah erosi budaya yang lebih luas akibat pesatnya pembangunan di daerah tersebut. Ketika kota yang sepi ini bergulat dengan realitas barunya, perjuangan untuk mempertahankan identitasnya terus berlanjut.