POSPAPUA

Ikuti perkembangan terkini Indonesia di lapangan dengan berita berbasis fakta PosPapusa, cuplikan video eksklusif, foto, dan peta terbaru.

Menjadikan ekspor sebagai penyangga ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian

Menjadikan ekspor sebagai penyangga ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian

JAKARTA (Antara) – Tahun 2022 dipandang sebagai tahun transisi bagi negara-negara di dunia untuk bangkit dari pandemi COVID-19.

Sebelumnya, masyarakat tidak punya pilihan selain berdiam diri di rumah, namun setelah pembatasan pergerakan dicabut, tingkat konsumsi naik yang pada gilirannya mempengaruhi laju inflasi.

Saat inflasi tinggi di awal tahun 2022, otoritas moneter mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena menurut mereka hal itu wajar terjadi pada masa transisi ke era pascapandemi.

Namun, invasi Rusia ke Ukraina pada Maret tahun lalu membuat harga pangan dan energi melonjak, yang membuat inflasi melonjak.

Kemudian bank-bank sentral dunia menaikkan tingkat suku bunga untuk mengekang inflasi. Namun, tingkat inflasi belum juga turun dan risiko resesi global mulai membayang di penghujung tahun 2022.

Namun, pada awal 2023, terlihat jelas bahwa situasinya tidak separah yang dikhawatirkan. Misalnya, tingkat inflasi di Amerika Serikat telah turun menjadi 6,5%.

Namun, krisis perbankan global baru-baru ini muncul, seperti runtuhnya Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat dan krisis yang dihadapi oleh Credit Suisse dan Deutsche Bank di Eropa.

Ketidakpastian ekonomi global terus berlanjut karena krisis ini.

Berita Terkait: Perekonomian Indonesia Tetap Kuat di Tengah Ketidakpastian Global: Resmi

Ekonom dan Presiden Universitas Katolik Atma Jaya Agustinus Prasetyantoko menjelaskan, risiko resesi, suku bunga tinggi, dan krisis perbankan pasti mempengaruhi kondisi keuangan Indonesia.

Dia mengatakan pasar modal bergejolak, rupiah melemah, dan tekanan pada Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga acuan meningkat.

Namun dari sisi perdagangan, ekspor Indonesia yang didominasi oleh komoditas meningkat meskipun terjadi perang Rusia-Ukraina.

Kenaikan harga komoditas meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi defisit anggaran.

Dia berkata, “Kami sebenarnya dikompensasi oleh situasi tersebut. Tekanan dari jalur keuangan diimbangi oleh jalur perdagangan karena ekspor bertindak sebagai penyangga gejolak yang muncul, yang membuat ekonomi kami tetap tangguh.”

Menurut Prasitantiku, sektor ekspor berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap positif tahun lalu.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,31 persen pada 2022. Pracitantuku memprediksi ekonomi Indonesia juga bisa tumbuh di atas lima persen pada 2023.

Meski sektor ekspor Indonesia meningkat akibat kenaikan harga pangan dan komoditas global, menurutnya menjadikan Indonesia benar-benar penyangga ekonomi merupakan kebutuhan ke depan.

Dia mencatat, “Pada 2022 kita masih diuntungkan karena dari aspek harga komoditas, karena sebagian besar ekspor kita bergantung pada komoditas. Ke depan, kita perlu lebih mengembangkan ekspor kita, yaitu sektor manufaktur.”

Pada Februari 2023, neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus US$5,47 miliar, namun tren kinerja ekspor menurun, dari US$27,86 miliar pada Agustus 2022 menjadi US$21,4 miliar pada Februari 2023.

Hal ini terjadi karena koreksi harga komoditas dan permintaan yang lebih rendah dari banyak negara resesi.

“Ini sebuah pencapaian. Selama 33 bulan neraca perdagangan kita selalu surplus. Ini adalah situasi yang patut kita syukuri dan nikmati di dunia yang saat ini sedang mengalami resesi,” ujar Pracitantuku.

Namun, dia mencatat bahwa Indonesia sangat bergantung pada harga komoditas.

“Kalau harga komoditas turun, surplus juga turun,” katanya.

Berdasarkan Economic Complexity Index (ECI) oleh Economic Complexity Monitor, MIT Media Lab, ekspor Indonesia pada 2020 bertumpu pada briket batu bara dan minyak sawit masing-masing sebesar 8,78 persen dan 10 persen dari total ekspor.

ECI adalah indikator yang menunjukkan bahwa semakin kompleks atau terdiversifikasi produk suatu negara, semakin besar kemungkinannya untuk menjadi negara berpenghasilan lebih tinggi.

Dia menekankan bahwa Indonesia perlu beralih dari ekspor produk yang sebagian besar berbasis komoditas ke produk manufaktur.

Prasityantuku mengapresiasi kebijakan manufaktur yang diterapkan pemerintah yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing ekonomi nasional dalam menghadapi kondisi ekonomi global yang tidak menentu.

Sementara itu, Indonesia juga bertekad menjadi pemain global utama dalam industri hilir berbasis komoditas dengan mengurangi ekspor bahan mentah dan meningkatkan industri hilir berbasis sumber daya alam negara.

Data USGS menunjukkan cadangan nikel Indonesia menempati urutan pertama di dunia.

Indonesia memiliki cadangan nikel 21 juta ton atau setara dengan 22 persen cadangan global.

Produksi nikel Indonesia menduduki peringkat pertama dengan satu juta ton, mengungguli Filipina 370.000 ton dan Rusia 250.000 ton.

Pemurnian nikel berkontribusi positif terhadap ekspor, terhitung 2,17 persen dari total ekspor nonmigas pada tahun 2022.

“Kalau Indonesia ingin lepas landas dari middle income country menjadi negara maju dan tahun milestone 2045 yaitu 100 tahun Indonesia, saya kira harus didesain dengan baik. Salah satunya produk ekspor kita harus lebih didiversifikasi. “

Artinya, kata dia, Indonesia harus membangun fondasi manufaktur yang kokoh yang memerlukan upaya dan dukungan jangka panjang berupa pembiayaan, penjaminan, asuransi, dan jasa konsultasi.

Kementerian Keuangan memiliki LPEI yang memberikan layanan pembiayaan ekspor nasional untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam mendorong program ekspor nasional melalui skema pembiayaan, penjaminan dan asuransi.

“Logikanya, lapangan pekerjaan LPEI dibutuhkan karena tanpa mereka saya kira industri lokal tidak akan berkembang dengan baik,” kata Bracitantoko.

Kontribusi pembiayaan LPEI di sektor manufaktur mencapai 39 triliun rupee (sekitar 2,5 juta dolar AS), atau 47 persen dari total pembiayaan.

Pembiayaan dilakukan dengan konsep rantai nilai, yaitu pembiayaan kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang menjadi pemasok sektor korporasi.

Namun, LPEI tidak bisa bekerja sendiri. Untuk mendorong perekonomian dalam negeri melalui peningkatan daya saing ekspor, diperlukan kerjasama lintas sektoral dan antarkementerian, khususnya untuk membantu usaha kecil dan menengah yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia untuk go global.

Berita terkait: Indonesia sedang mengembangkan pasar ekspor di Asia Selatan
Berita terkait: Kementerian sedang mengembangkan strategi untuk menghadapi penurunan global yang diharapkan
Berita Terkait: Menteri Berangkat ke India Dukung Ekspor Komoditi RI

Diterjemahkan oleh: Citro A, Kenzo
Editor: Sri Hariyati
Hak Cipta © Antara 2023