POSPAPUA

Ikuti perkembangan terkini Indonesia di lapangan dengan berita berbasis fakta PosPapusa, cuplikan video eksklusif, foto, dan peta terbaru.

Memperkenalkan undang-undang karbon baru Indonesia

Memperkenalkan undang-undang karbon baru Indonesia

Peraturan karbon baru yang komprehensif di Indonesia memberikan kebijakan pajak karbon umum, nilai ekonomi karbon umum, batas emisi sektoral, dan kerangka kerja untuk perdagangan karbon.

  • sebuah pengantar
  • Prinsip hukum karbon baru
  • Pajak karbon: siapa yang terpengaruh?
  • Pajak karbon: kapan dimulai?
  • kerangka perdagangan karbon
  • Pembayaran insentif berdasarkan hasil
  • kesimpulan

sebuah pengantar

Pada 9 November 2021 dalam Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) di Glasgow, Presiden Jokowi menegaskan komitmen berkelanjutan Indonesia terhadap Perjanjian Paris (Perjanjian Paris), menyatakan telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penerapan Nilai Ekonomis Karbon untuk mencapai target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi gas rumah kaca dalam kaitannya dengan pembangunan nasional (Peraturan 98/2021), serta UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU 7/2021), menguraikan peta jalan pengurangan karbon untuk Indonesia (Peta Jalan Karbon) menuju emisi nol bersih (gabungan, Hukum Karbon).

Pengenalan undang-undang karbon adalah langkah selanjutnya dalam rencana Indonesia untuk mencapai Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC) komitmen untuk memerangi perubahan iklim berdasarkan Perjanjian Paris, yang diratifikasi Indonesia pada tahun 2016, dan untuk mencapai emisi karbon nol bersih pada tahun 2060.

Prinsip hukum karbon baru

Hukum karbon didasarkan pada prinsip-prinsip dasar berikut:

  1. Strategi pengurangan emisi karbon: Untuk mencapai target produksi karbon Indonesia dengan emisi nol bersih pada tahun 2060, Strategi Pengurangan Emisi Karbon menetapkan minimal 29% emisi karbon Indonesia pada tahun 2030 (hingga 41% jika pemerintah mendapat dukungan tambahan dari masyarakat internasional).

  2. Menargetkan sektor prioritas: Pemerintah akan menargetkan pengurangan emisi karbon dari sektor-sektor prioritas (sebagaimana didefinisikan di bawah) untuk mencakup sekitar 97% dari total target pengurangan karbon NDC Indonesia.

  3. Pengembangan Energi Terbarukan: Pemerintah ingin menyelaraskan penerapan pajak karbon (sebagaimana didefinisikan di bawah) dengan penghentian pembangkit listrik tenaga batu bara, gas, dan biogas secara bertahap dan pengenalan energi baru dan terbarukan, seperti limbah menjadi energi, angin, surya, panas bumi dan sumber energi hijau lainnya. Hal ini bertujuan untuk memastikan kelancaran transisi energi dan mengurangi dampak pada bisnis dan publik.

  4. Penyelarasan kebijakan pemerintah: Pemerintah akan berusaha untuk memastikan bahwa pajak karbon dan kerangka perdagangan karbon selaras dengan dan mempromosikan target NDC.

Pajak karbon: siapa yang terpengaruh?

Di bawah Undang-Undang Karbon, pajak karbon baru (pajak karbon) (secara bertahap) pada:

  1. membeli barang yang mengandung karbon; Dan

  2. Kegiatan produksi karbon yang berdampak negatif terhadap lingkungan.

Pajak karbon akan bertahap sesuai dengan Peta Jalan Karbon (dijelaskan di bawah) dengan tarif yang tidak lebih rendah dari harga pasar karbon untuk setara CO2. Jika harga pasar karbon kurang dari Rs 30 per kilogram setara karbon dioksida, maka tarif pajak karbon tidak boleh kurang dari Rs 30 per kilogram setara karbon dioksida. Suku bunga acuan ini jauh di bawah harga 75 rupiah yang semula diusulkan oleh pemerintah, dan secara umum dipandang sebagai kompromi politik untuk mengurangi dampak awal terhadap perekonomian Indonesia.

Pemerintah bermaksud untuk memfokuskan pengurangan emisi karbon pada beberapa sektor prioritas strategis – energi, kehutanan, transportasi (sektor prioritas), mencakup sekitar 97% dari target pengurangan emisi karbon NDC di Indonesia.

Undang-Undang Karbon tidak merinci barang dan kegiatan penghasil karbon yang akan dikenakan pajak karbon. Namun, kami berharap bahwa dampak ekonomi yang luas dari undang-undang karbon akan dirasakan oleh semua pemangku kepentingan di Indonesia, termasuk konsumen Indonesia, karena penerapan pajak karbon hampir pasti akan meningkatkan biaya manufaktur, transportasi, logistik, dan listrik, yang tentunya akan ditanggung oleh perusahaan. berusaha untuk menyampaikan kepada pelanggan mereka.

Menurut pendapat kami, para pemangku kepentingan Indonesia yang menghadapi dampak terbesar dari Undang-Undang Karbon kemungkinan besar adalah:

  • Sektor energi: terutama pembangkit listrik tenaga batu bara, diesel, dan biogas dan perusahaan yang memproduksi, menggunakan atau memperdagangkan hidrokarbon;

  • Sektor kehutanan: terutama produksi dan perdagangan barang dari kayu hutan;

  • Sektor transportasi: terutama maskapai penerbangan, pengangkutan, transportasi komersial dan logistik;

  • Sektor manufaktur: terutama pabrik kertas, baja, dan kimia (tetapi juga pabrikan lain yang menggunakan listrik dalam jumlah besar atau menghasilkan emisi karbon tingkat tinggi);

  • Sektor pertanian: Terutama memelihara hewan hidup (misalnya sapi, babi, kambing dan ternak lainnya) menghasilkan tingkat metana yang tinggi dan membutuhkan pakan dalam jumlah besar untuk dipelihara;

  • bidang pengelolaan dan pengolahan sampah;

  • sektor konstruksi dan pertambangan; Dan

  • konsumen Indonesia.

Pajak karbon: kapan dimulai?

Carbon Roadmap mensyaratkan penerapan pajak karbon dalam tahapan sebagai berikut:

2022 hingga 2024: Pajak karbon awalnya akan berlaku mulai 1 April 2022 hanya untuk pembangkit listrik tenaga batu bara, dengan tarif awal Rs 30 per kilogram setara CO2, dan kemudian akan dikenakan emisi karbon dan rezim pajak.

2025 dan seterusnya: Pajak karbon akan diperluas ke semua sektor produksi karbon terkait lainnya, termasuk sektor prioritas lainnya, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan dampak serta skala penerapan pajak karbon.

kerangka perdagangan karbon

Undang-Undang Karbon menciptakan kerangka hukum untuk perdagangan karbon sehingga entitas Indonesia dapat bertukar kredit karbon dengan entitas domestik dan asing lainnya dan mengimbangi emisi karbon mereka untuk kegiatan tertentu yang mengurangi atau mengurangi dampak emisi karbon.

Undang-Undang Karbon menyatakan bahwa pemerintah Indonesia akan mengatur pertukaran perdagangan karbon dan mengeluarkan lebih banyak peraturan untuk memfasilitasi perdagangan karbon di Indonesia. Di bawah Kerangka Perdagangan Karbon, diharapkan akan ada sistem cap-and-trading di mana batas tertentu pada emisi karbon (dan/atau entitas) ditetapkan untuk kegiatan penghasil karbon (topi kustom) yang dapat diperdagangkan oleh badan usaha lokal maupun internasional. Meskipun belum jelas kapan pertukaran perdagangan karbon akan didirikan, pejabat pemerintah telah mengindikasikan bahwa pasar untuk perdagangan karbon akan beroperasi penuh pada tahun 2025, pada waktunya untuk fase pajak karbon berikutnya.

Kerangka Perdagangan Karbon juga menyatakan bahwa entitas (yang akan didefinisikan lebih lanjut) yang tidak memiliki batasan khusus dapat mengimbangi emisi karbon mereka dengan memberikan pernyataan pengurangan emisi yang menguraikan tindakan mereka untuk mengurangi dan mengurangi emisi karbon, dan hasil dari tindakan tersebut. Kami mengantisipasi bahwa pengaturan ini akan tunduk pada peraturan pelaksanaan lebih lanjut. Namun, dalam praktiknya, mekanisme ini memungkinkan perusahaan terkait untuk mengubah data pengurangan emisi menjadi kredit karbon yang dapat diperdagangkan di bursa perdagangan karbon atau dikaitkan dengan pembayaran insentif berbasis hasil, seperti yang dijelaskan di bawah ini.

Pembayaran insentif berdasarkan hasil

Untuk mendorong perusahaan (dan pemerintah nasional, regional dan lokal) untuk secara efektif mengurangi emisi karbon, Undang-Undang Karbon memperkenalkan mekanisme pembayaran insentif berbasis hasil. Berdasarkan mekanisme ini, perusahaan yang dapat memberikan bukti yang dapat diverifikasi tentang (a) hasil (dan manfaat) dari pengurangan emisi karbon atau (b) peningkatan cadangan karbon mereka dapat memenuhi syarat untuk pembayaran berbasis hasil. Hukum karbon menjelaskan tiga jenis umum pembayaran berbasis hasil:

  1. Pembayaran internasional berbasis hasil: Dikeluarkan oleh pihak internasional pemerintah pusat atau daerah, dengan persetujuan pemerintah pusat;

  2. Pembayaran Berbasis Hasil Nasional: diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah dan pemerintah daerah, dunia usaha dan/atau kelompok masyarakat; Dan

  3. Pembayaran regional berdasarkan hasil: Disediakan oleh pemerintah daerah/daerah kepada pemerintah daerah, dunia usaha, dan/atau kelompok masyarakat.

Sementara Undang-Undang Karbon menetapkan kerangka hukum umum untuk pembayaran insentif berbasis hasil, rincian lebih lanjut diharapkan dalam peraturan pelaksanaan yang akan dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

kesimpulan

Kehadiran Undang-Undang Karbon merupakan momen penting bagi Indonesia dan menandakan perubahan signifikan dalam pendekatan Indonesia terhadap emisi karbon dan lingkungan secara umum. Namun, itu belum merupakan sistem yang berfungsi penuh. Meskipun ini merupakan langkah ke arah yang benar, lebih banyak waktu dan lebih banyak peraturan pelaksanaan akan diperlukan untuk menerapkan dan menyelaraskan kebijakan pemerintah dengan benar untuk mencapai target emisi karbon Indonesia yang ambisius.