Swin segera, Khun Ti Tan, Philia Weibo
Singapura / Jakarta ●
Jumat, 23 April 2021
Bayangkan sebuah peternakan “berbicara” langsung dengan petani melalui telepon seluler – mengirimkan pembaruan instan tentang nutrisi tanah dan rotasi tanaman, dan peringatan mendesak untuk air kemasan atau pupuk. Masa depan saya? Imajiner? Teknologi tersebut sudah ada saat ini, dan akan menjadi pendorong penting untuk memicu pertumbuhan di sektor pertanian Indonesia.
Dengan kekayaan tanahnya yang subur, Indonesia adalah pemain pertanian utama – produsen global terbesar keempat dan eksportir penting. Pertanian merupakan bagian penting dari perekonomian Indonesia, karena memberikan kontribusi yang signifikan terhadap PDB dan mempekerjakan hampir sepertiga tenaga kerja negara. Namun jumlah ini menurun, karena semakin sedikit kaum muda yang tertarik memasuki bidang ini.
Hal ini dapat menyebabkan ketergantungan yang lebih besar pada impor dan pendapatan yang lebih rendah bagi para petani, yang sebagian besar adalah petani kecil. Perhatian utama petani adalah akses permodalan, pengendalian hama dan penyakit, dan akses ke pasar. Biaya produksi tanaman pokok di Indonesia 25-50 persen lebih tinggi daripada di negara tetangga, menurut ACRE, Pusat Analisis Pertanian Lanjutan di McKinsey.
Semua tekanan ini diperburuk oleh virus Corona, yang menyebabkan penurunan harga, kelangkaan pembeli, dan kesulitan membeli kebutuhan pokok seperti pestisida.
Bagaimana petani dapat meningkatkan produktivitas dalam iklim yang menuntut ini? Survei terbaru oleh McKinsey & Company – yang menjangkau 200 petani Indonesia di enam provinsi dan 80 desa – mengungkapkan beberapa solusi teknologi yang berpotensi kuat.
AgTech, termasuk inovasi digital, dapat menghemat US $ 500 miliar sebagai nilai tambahan terhadap PDB global pada tahun 2030, meningkatkan ketahanan pangan, dan meningkatkan produktivitas. Ada banyak cara menarik untuk dijelajahi.
Otomatisasi, seperti menggunakan drone atau balon hidrogen untuk menyemprot pestisida, dapat sangat memengaruhi ketergantungan pada tenaga kerja manual dan waktu aplikasi, sementara perangkat irigasi cerdas dapat memangkas biaya.
Pertanian Presisi – Gunakan data besar dan analitik canggih untuk menghitung input dan pengeluaran mikroskopis
Hasil dapat meningkat, sementara perangkat lunak, kalkulator, dan dasbor online dapat memfasilitasi manajemen operasi.
Misalnya, Habibi Garden adalah startup yang mengkhususkan diri pada perangkat Internet of Things (IoT). Sayang
Sensor Garden IoT melacak parameter utama pertumbuhan tanaman seperti suhu, kelembapan, kelembapan, dan pH, serta mengirimkan pemberitahuan kepada petani saat tindakan diperlukan.
Aplikasi dapat digunakan untuk menghubungkan pemasok, petani, dan pelanggan. Perusahaan startup Indonesia Cybox, misalnya, adalah aplikasi belanja bahan makanan seluler yang memungkinkan konsumen memilih produk pertanian segar secara online, bersumber langsung dari produsen lokal dan dikirim ke depan pintu rumah mereka.
Platform digital lain dapat membantu dengan memberikan informasi peringatan dini tentang cuaca, misalnya, atau dengan memberikan kredit digital. Layanan konsultasi khusus dapat diberikan berdasarkan permintaan melalui ponsel. Contohnya adalah Pantau Harga, sebuah startup yang memberikan informasi detail harga komoditas pertanian kepada petani, sehingga memungkinkan terjadinya transaksi yang lebih transparan.
Indonesia berada pada posisi yang tepat untuk memanfaatkan inovasi ini. Sebagian besar petani memiliki akses yang andal ke Internet dan menggunakannya setiap hari. Sekitar dua pertiga dari mereka menggunakan ponsel cerdas dan aktif di media sosial, seringkali dalam kelompok tani yang berdedikasi.
Meskipun adopsi digital secara keseluruhan tinggi, petani belum memaksimalkan penggunaan teknologi untuk nilai bisnis. Sebagian besar petani masih mengandalkan jaringan teman sebaya, keluarga atau teman untuk informasi pertanian. Hanya sekitar seperlima yang menggunakan media sosial untuk membeli atau menjual, dengan aktivitas kurang – kurang dari 5 persen – di situs e-commerce.
Survei kami menunjukkan bahwa banyak petani akan siap untuk memanfaatkan peluang pada platform digital, dan pada teknologi yang kurang umum seperti drone, tetapi menahan diri karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran, serta persepsi kesulitan penggunaan.
Survei kami mengungkapkan beberapa wawasan sentral dalam membangun ekonomi pertanian digital. Ini dapat memandu jalan ke depan bagi pemain swasta dan publik.
Pertama, pahami dulu petani itu. Tidak ada solusi yang cocok untuk semua – kebutuhan petani akan bervariasi berdasarkan kombinasi faktor, seperti jenis sistem tanam, akses ke pasar, dan pengetahuan tentang praktik pertanian. Misalnya, penanam padi (kebanyakan petani kecil) menganggap pengendalian hama sebagai tantangan utama, sedangkan bagi penanam tebu skala besar, ketersediaan tenaga kerja merupakan kendala yang lebih penting.
Usia dan latar belakang petani individu juga berperan. Misalnya, petani yang lebih muda (di bawah 40) dua kali lebih mungkin menggunakan saluran Internet daripada petani yang lebih tua – tetapi mereka juga lebih mungkin menghadapi kendala dalam mengakses modal.
Kedua, buat solusi yang disesuaikan. Rancangan solusi perlu mempertimbangkan keterbatasan dan kebutuhan khusus para penanam. Misalnya, dengan petani Indonesia yang berpenghasilan rata-rata sekitar 55.000 rupee per hari, solusi “aset ringan” yang terjangkau seperti penyewaan drone dapat dieksplorasi.
Solusi tidak harus sepenuhnya digital. Bagan e-niaga dapat menjelajahi berbagai model pengiriman yang mencakup kombinasi berbeda dari pembelian dan pengiriman secara langsung dan online, dan digitalisasi operasi mitra distribusi.
Badan publik dan swasta dapat berinvestasi dalam mendidik petani untuk mendemonstrasikan teknologi baru. Ini dapat dilakukan melalui kelompok tani online di WhatsApp atau Facebook, atau melalui koperasi offline atau jaringan pedagang.
Ketiga, hindari kelumpuhan eksperimental. Memberikan solusi AgTech yang sukses adalah maraton, bukan sprint – diperlukan investasi dan komitmen jangka panjang untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi dan tahan lama. Investasi awal dalam sponsor perusahaan, kemitraan real estat, dan program uji coba gratis dapat membantu mendorong adopsi secara luas. Pemain harus membangun kemampuan internal (terutama talenta dan infrastruktur digital) untuk memastikan keberlanjutan model mereka setelah fase beta.
Keempat, mengamankan kemitraan yang tepat. Kemitraan bisa efektif dalam mempercepat dan memperdalam dampak solusi petani. Misalnya, kemitraan dengan platform data dapat menargetkan petani dengan lebih baik, sementara kemitraan dengan distributor dapat memperkaya pengetahuan pasar lokal dan mendorong adopsi.
Kelima, hilangkan penghalang untuk masuk. Pelaku sektor publik dapat mempertimbangkan untuk mengambil peran yang lebih aktif dalam mempromosikan ekosistem AgTech – menciptakan dana inovasi AgTech, membangun platform data sumber terbuka dan berinvestasi dalam pendaftaran petani, di antara strategi lainnya.
Dengan menggabungkan inovasi digital dengan warisan pertanian Indonesia yang kaya, petani dan petani di Indonesia dapat “berbicara” satu sama lain dan dengan konsumen di seluruh dunia, dengan cara baru yang menarik, berkelanjutan, dan menguntungkan.
***
Suyin Soon adalah partner yang berbasis di kantor McKinsey & Company di Singapura, dan Khoon Tee Tan adalah partner senior yang berbasis di Jakarta di mana Phillia Wibowo adalah partner pengelola.
“Gamer yang sangat menawan. Ahli web. Sarjana TV. Pecandu makanan. Ninja media sosial yang rajin. Pelopor musik hardcore.”
More Stories
Indonesia siap menjadi ekonomi hijau dan pusat perdagangan karbon global
Indonesia berupaya menggenjot sektor ritel untuk mendukung perekonomian
Ekonomi perawatan di Indonesia