Jakarta (The Jakarta Post/ANN): Dengan rencana amnesti pajak baru yang serupa dengan tahun 2016, pemerintah berusaha untuk meningkatkan pendapatan negara sebagai perbaikan cepat untuk defisit anggaran besar yang disebabkan oleh pandemi virus corona, tetapi para kritikus memperingatkan bahwa yang kedua program dapat mendorong penghindaran pajak.
Menteri Koordinator Perekonomian Erlanga Hartarto mengatakan pada 19 Mei bahwa rencana itu termasuk dalam usulan perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, serta rencana peningkatan pajak pertambahan nilai (PPN) yang tinggi. (pajak pertambahan nilai) pajak orang pribadi (HNWI) dan beberapa perubahan lainnya.
Ia menambahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirimkan surat ke DPR yang menyatakan bahwa pembahasan antara pemerintah dan anggota parlemen akan dimulai tahun ini.
Sejauh ini, ada sedikit kejelasan tentang bagaimana amnesti pajak kedua akan terjadi dan mengapa pemerintah ingin mengembalikannya selama pandemi, dengan beberapa skeptis terhadap tekanan dari bisnis.
Namun, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kaden) Indonesia Rosanne B. Ruslani tidak memberikan persetujuan langsung.
“Jika diskusi dilakukan dengan baik dan semua pemangku kepentingan terlibat, kami akan merespons secara positif,” kata Roseanne dalam webinar pada hari Jumat (28 Mei), meskipun mencatat bahwa banyak negara telah menawarkan amnesti pajak lebih dari satu kali dan dapat menghadapi penerimaan pajak yang lebih rendah.
Sementara itu, Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) rupanya mendukung gagasan tersebut.
“Kebijakan pengampunan pajak layak untuk dilanjutkan,” kata Kepala Keuangan dan Perbankan Hempmi, Ajeeb Hamdani, kepada Jakarta Post pada 23 Mei.
Amnesti pajak pertama dilaksanakan berdasarkan UU No. 11/2016 dengan tujuan untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan meningkatkan pendapatan pemerintah. Hal itu ditunjukkan dengan mengetahui bahwa banyak orang Indonesia menyembunyikan aset mereka di luar negeri dan bahwa pemerintah kehilangan banyak potensi pendapatan.
Kementerian Keuangan memperkirakan pada saat itu bahwa orang Indonesia memiliki sekitar 4 kuadriliun rupiah (US$280,51 miliar) yang disebut sebagai surga pajak luar negeri.
Dalam pernyataan tahun 2016, Kantor Menteri Koordinator Perekonomian menekankan bahwa program tersebut juga dapat membawa lebih banyak investasi ke Indonesia dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Program ini diluncurkan pada Juli 2016. Pemerintah telah memberikan waktu sembilan bulan kepada wajib pajak orang pribadi dan badan untuk memperoleh keringanan pajak atas aset yang tidak diungkapkan dari tahun-tahun sebelumnya hingga Desember 2015 dengan membayar biaya pemulihan sebagai imbalan kekebalan dari penuntutan.
Untuk aset luar negeri, pemerintah mengenakan pajak 4 persen jika aset tersebut diumumkan pada September 2016.
Tarif naik semakin lama wajib pajak menunggu untuk mengungkapkan aset mereka, mencapai 6 persen untuk aset yang diumumkan selama tiga bulan ke depan dan 10 persen dalam tiga bulan terakhir program.
Pemerintah mengatakan bisa memotong tarif menjadi dua jika pembayar pajak membawa pulang kekayaan mereka, terlepas dari hanya mengumumkannya.
Kemudian aset-aset asing yang dipulangkan di Indonesia harus disimpan paling tidak selama tiga tahun dalam instrumen yang disiapkan atau ditunjuk oleh pemerintah.
Secara teori, hal ini akan menyebabkan masuknya uang secara besar-besaran ke dalam sistem keuangan Indonesia. Pihak berwenang akan mengenakan denda tambahan sebesar 200 penyimpangan di atas tarif pajak dasar jika mereka menemukan aset yang tidak diungkapkan dari peserta pengampunan pajak.
Wajib Pajak yang tidak ikut serta dapat dikenakan sanksi dan tuntutan hukum.
Pada akhir pengampunan pajak, pemerintah hanya mampu mencapai salah satu dari beberapa tujuan yang ditetapkan, menurut laporan tahunan Direktorat Jenderal Pajak tahun 2017, yaitu mencatat aset yang diumumkan sebesar 4.738 kuadriliun rupee, melebihi targetnya 4 kuadriliun rupiah.
Namun, total aset yang dipulangkan hanya Rp 147 triliun, jauh di bawah target Rp 1 kuadriliun.
Pemerintah hanya mengumpulkan dana penebusan Rp 114 triliun, meleset dari target Rp 165 triliun, dan kurang dari satu juta wajib pajak berpartisipasi dalam program tersebut. Lebih dari 30 juta wajib pajak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) selama periode tersebut.
Pengaruh pengampunan pajak terhadap penerimaan negara tidak jelas.
Menurut Kementerian Keuangan, rasio pajak terhadap PDB di Indonesia terus menurun setelah program tersebut. Dari 10,8 persen pada 2015 – rendah menurut standar internasional – menjadi 10,36 persen pada 2016 dan 9,98 persen pada 2017, sebelum naik lagi menjadi 10,24 persen dengan bantuan kenaikan sementara harga komoditas.
Kemudian terus menurun menjadi 9,76 persen pada 2019 dan turun menjadi 8,33 persen pada 2020, di masa pandemi.
Pengaruh pengampunan pajak terhadap kepatuhan pajak juga tidak jelas.
Setelah naik signifikan dari 60,78 persen pada 2016 menjadi 72,64 persen pada 2017, stagnan dan terus turun di bawah target pemerintah. Tarif tersebut menunjukkan persentase wajib pajak yang menyampaikan SPT Tahunan PPh dari total jumlah wajib pajak dalam database.
Menurut Ditjen Pajak, tingkat kepatuhan perpajakan pada tahun 2017 hingga 2019 masing-masing sebesar 72,64 persen, 71 persen, dan 73,06 persen, masih di bawah target pemerintah sebesar 75 persen, 80 persen, dan 85 persen.
Direktur Riset Center for Tax Analysis in Indonesia (CITA) Fajri Akbar mengingatkan pemerintah bahwa tax amnesty kedua dapat menimbulkan rasa ketidakadilan, terutama bagi mereka yang mengikuti program pertama.
“Untuk meningkatkan rasa keadilan, pemerintah harus lebih selektif dengan menetapkan kewajiban tambahan bagi siapa saja yang masih ingin berpartisipasi di dalamnya,” kata Fagre kepada surat kabar itu pada 25 Mei. Ketua Komite Pajak Asosiasi Pengusaha Indonesia (Abindu), Sidi Widiapratama, meragukan pengampunan pajak kedua akan berdampak signifikan, artinya akan kehilangan maknanya karena pemerintah mencoba mengulanginya setelah waktu yang singkat. waktu.
“Jadi kita [offer] Amnesti pajak lebih sering daripada tidak, efektivitasnya akan menurun. “Ini dapat menyebabkan bahaya moral,” kata Sidi kepada surat kabar itu pada 24 Mei.
Sidi menambahkan, menghidupkan kembali pengampunan pajak mungkin tidak akan menyelesaikan masalah penerimaan pajak Indonesia.
Dia menyarankan agar pemerintah fokus mengendalikan pandemi karena itu akan menentukan seberapa baik pengeluaran rumah tangga dapat meningkat dan mempercepat pemulihan ekonomi, yang pada gilirannya dapat membantu pemulihan pendapatan pajak.
“Kalau ekonomi bergerak lagi, penerimaan pajak akan naik lagi,” kata Pak. – Jakarta Post / Jaringan Berita Asia
“Gamer yang sangat menawan. Ahli web. Sarjana TV. Pecandu makanan. Ninja media sosial yang rajin. Pelopor musik hardcore.”
More Stories
Indonesia siap menjadi ekonomi hijau dan pusat perdagangan karbon global
Indonesia berupaya menggenjot sektor ritel untuk mendukung perekonomian
Ekonomi perawatan di Indonesia