POSPAPUA

Ikuti perkembangan terkini Indonesia di lapangan dengan berita berbasis fakta PosPapusa, cuplikan video eksklusif, foto, dan peta terbaru.

Perebutan hak atas tanah di Pulau Rembang, Indonesia

Perebutan hak atas tanah di Pulau Rembang, Indonesia

Penulis : Asrul Al-Siddiq, ANU

Warga Indonesia yang tinggal di Pulau Rembang memprotes pembangunan pabrik kaca Tiongkok yang bernilai miliaran dolar. Untuk membuka jalan bagi proyek Rembang Eco-City, 7.500 warga setempat harus pindah. Proyek Strategis Nasional (PSN) Indonesia ini, yang didukung oleh investasi sebesar US$11,5 miliar dari sebuah perusahaan Tiongkok, berupaya mengubah pulau ini menjadi pusat industri, komersial, dan pariwisata utama.

Meskipun telah tinggal di pulau tersebut selama beberapa generasi, penduduk setempat tidak memiliki kepemilikan sah atas tanah tersebut. Proyek ini memiliki potensi pengembangan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, didorong oleh sumber daya pasir kuarsa yang melimpah – bahan penting dalam pembuatan kaca dan panel surya. Namun situasi ini menggarisbawahi perlunya proses pengambilan keputusan yang transparan dan inklusif yang mempertimbangkan hak dan kepentingan masyarakat lokal.

Masyarakat lokal telah menempati kawasan tersebut selama beberapa dekade. Investigasi yang dilakukan Kantor Ombudsman RI mengungkap bahwa desa-desa kuno yang terletak di Pulau Rembang sudah ada jauh sebelum penandatanganan nota kesepahaman antara pemerintah dan investor Tiongkok pada tahun 2004. Federasi Reforma Agraria melaporkan adanya permasalahan tumpang tindih penguasaan lahan di Rembang akibat pengelolaan lahan yang tidak memadai.

Untuk mengatasi masalah tumpang tindih penguasaan lahan, Pemerintah Indonesia meluncurkan Kebijakan Satu Peta (OMP) pada tahun 2011 setelah perbedaan data spasial diketahui di tingkat nasional pada tahun 2010 pada konferensi Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+). Namun OMP tidak berfungsi dengan baik karena masalah politik dan teknis.

Efektivitas OMP terhambat oleh buruknya pengelolaan lahan dan kurangnya koordinasi antar kementerian. Hal ini menyebabkan kurangnya kejelasan informasi sehingga sulit mencapai hasil yang diinginkan. Tanggung jawab yang tumpang tindih antara berbagai lembaga dan lembaga juga menyebabkan perebutan kekuasaan di tingkat lokal, sehingga menimbulkan hambatan besar bagi efektivitas penerapan kebijakan ini.

READ  Sinar matahari, laut, dan pariwisata berkelanjutan: Pengusaha wanita Indonesia beradaptasi dengan dunia yang terus berubah

Pemerintah dapat membentuk lembaga khusus yang langsung berada di bawah pengawasan presiden. Lembaga ini harus bertanggung jawab untuk mengoordinasikan dan melaksanakan OMP dan diberi wewenang yang diperlukan untuk memastikan bahwa semua pemangku kepentingan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama.

Namun sulitnya menentukan batas-batas hutan adat telah memperlambat kemajuan kebijakan ini. Meskipun pemerintah saat ini melakukan upaya untuk mendukung kebijakan ini dengan mengakui hak-hak masyarakat lokal dan melaksanakan reformasi pertanahan, upaya yang lebih serius masih diperlukan untuk melaksanakan inisiatif ini, karena kemajuan yang dicapai sejauh ini masih terbatas.

Untuk mengurangi ketimpangan dalam kepemilikan tanah dan memberdayakan masyarakat melalui redistribusi, kepemilikan, legislasi dan penguasaan tanah, Indonesia telah meluncurkan reformasi baru yang disebut Land Under Agrarian Reform. Tanah objek reforma agraria. Program ini, yang dipahami sebagai “reforma agraria” dalam Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018, melibatkan distribusi dan legalisasi tanah untuk mengatasi ketidakamanan dan kompleksitas terkait struktur kepemilikan.

Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2021 yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan kesenjangan tata ruang, kawasan hutan, perizinan, dan hak atas tanah. Sebelum adanya peraturan ini, belum ada prosedur baku yang dapat diikuti oleh kementerian atau lembaga untuk menyelesaikan masalah tumpang tindih hak atas tanah. Regularisasi ini dapat menjadi katalis bagi OMP, yang akan membantu menyelesaikan tumpang tindih data spasial. Misalnya, ketika menyelesaikan persoalan kepemilikan tanah di kawasan hutan, penting untuk membandingkan tahun penerbitan surat kepemilikan tanah dengan tahun peruntukan kawasan hutan.

Komplikasi tambahannya adalah peta dua dimensi yang dibuat saat ini tidak secara akurat mewakili hubungan sosial yang kompleks dan dinamika kehidupan yang terlibat. Kebijakan ini dapat mencakup verifikasi di lapangan sebagai langkah penting untuk memastikan bahwa peta secara akurat mencerminkan kondisi sebenarnya di lapangan. Verifikasi lapangan melibatkan proses verifikasi dan inspeksi langsung di lokasi. Hal ini sangat penting di Indonesia, mengingat kondisi geografisnya yang beragam dan perlunya mempertimbangkan komunitas lokal dan faktor lingkungan.

READ  Perdana Menteri Tiongkok bertemu Wakil Presiden Indonesia - Xinhua

Konsultasi publik juga merupakan elemen penting dalam perencanaan tata ruang, dan secara hukum diamanatkan berdasarkan berbagai undang-undang, termasuk Undang-undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-undang ini menetapkan kerangka kerja untuk melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan dan menekankan pentingnya transparansi dan inklusi.

Forum Lingkungan Hidup Indonesia menilai pembangunan Rembang Eco-City tidak sesuai dengan dokumen tata ruang nasional dan daerah. Namun, status khusus proyek sebagai PSN memungkinkan pelaksanaannya tanpa harus dituangkan dalam dokumen tata ruang.

Berinvestasi pada industri lokal memerlukan partisipasi masyarakat lokal. Masyarakat lokal tidak serta merta menentang investasi, namun mereka tidak boleh dipaksa untuk pindah tanpa kemauan. Sangat penting bagi lembaga-lembaga terkait untuk melakukan konsultasi dan mediasi yang tepat dengan perwakilan masyarakat yang sah sesuai dengan peraturan Indonesia.

Partisipasi masyarakat, sebagaimana diwajibkan oleh peraturan di Indonesia, seringkali hanya sekedar formalitas tanpa substansi dan tujuan. Efektivitas konsultasi publik bergantung pada komitmen otoritas eksekutif dan partisipasi aktif berbagai pemangku kepentingan, termasuk komunitas lokal dan organisasi masyarakat sipil. Pertanyaan utama yang masih harus dijawab adalah apakah pemerintah dapat mengalihkan fokusnya ke arah keterlibatan masyarakat yang lebih besar selama penerapan PSN.

Asrul Siddique adalah mahasiswa PhD di Crawford School of Public Policy di Australian National University.