POSPAPUA

Ikuti perkembangan terkini Indonesia di lapangan dengan berita berbasis fakta PosPapusa, cuplikan video eksklusif, foto, dan peta terbaru.

Suku Dayak marah atas penolakan RSPO atas pengaduan pelanggaran hak atas tanah

Suku Dayak marah atas penolakan RSPO atas pengaduan pelanggaran hak atas tanah

  • RSPO, badan sertifikasi minyak sawit berkelanjutan terkemuka di dunia, telah menolak pengaduan yang diajukan oleh masyarakat adat di Indonesia terhadap perusahaan perkebunan yang dituduh melanggar hak atas tanah mereka.
  • Perusahaan tersebut, MAS, tiba di tanah asli masyarakat adat Dayak Hibun pada tahun 1996, dan pada tahun 2000 telah menyerap 1.400 hektar (3.460 hektar) tanah masyarakat ke dalam konsesinya.
  • Masyarakat mengajukan pengaduannya pada tahun 2012 dengan sasaran perusahaan kelapa sawit Malaysia, Sime Darby Plantation, yang saat itu merupakan perusahaan induk MAS dan merupakan anggota RSPO.
  • Ketika menolak pengaduan tersebut, 11 tahun kemudian, RSPO tidak menyebutkan adanya bukti pelanggaran hak atas tanah dan mencatat bahwa Sime Darby telah menjual perkebunan tersebut kepada MAS – pemiliknya saat ini bukanlah anggota RSPO dan oleh karena itu tidak tunduk pada peraturan Meja Bundar. .

JAKARTA – Komunitas adat di Kalimantan, Indonesia, yang telah berjuang selama puluhan tahun melawan perusahaan kelapa sawit, mengecam keputusan yang membebaskan perusahaan tersebut dari pelanggaran hak atas tanah.

Masyarakat Dayak Hibun di Kabupaten Sangao, provinsi Kalimantan Barat mengajukan pengaduan ke Round Table on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada tahun 2012 terhadap PT Mitra Astral Sejahtera (MAS), pemilik Perusahaan Minyak Sawit Malaysia. Sime Darby taman bhd.

Perusahaan ini pertama kali datang ke lokasi tersebut pada tahun 1996, meski belum pernah mendapatkan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC) dari masyarakat. Izin berikutnya yang diterbitkan pada tahun 2000, yang dikenal sebagai HGU, memberikan konsesi seluas 8.741 hektar (21.600 hektar), termasuk 1.400 hektar (3.460 hektar) tanah leluhur Dayak Hibun.

RSPO akhirnya memutuskan pengaduan tersebut pada bulan Agustus tahun ini, namun menolaknya karena “tidak cukup bukti” bahwa MAS memperoleh izin HGU secara tidak wajar.

“Perusahaan yang mendapat sertifikasi HGU berarti perusahaan tersebut telah memenuhi seluruh kewajibannya kepada negara,” tulis RSPO dalam suratnya. Kesimpulan.

READ  Aktivis Indonesia mengajukan laporan terhadap empat perusahaan yang terbakar selama musim kebakaran

Pada konferensi pers baru-baru ini di Jakarta, perwakilan masyarakat Dayak Hibun mengecam RSPO karena mengabaikan hak dan tuntutan masyarakat.

“Kami sangat kecewa dan marah terhadap RSPO,” kata Redatus Musa, salah satu anggota komunitas.

Komunitas adat Dayak Hibun di Kabupaten Sango, Kalimantan Barat, Indonesia. Gambar milik situs Dayak Hibun.

Apakah tanahnya dijual atau disewakan?

Perdebatan utama dalam kasus ini adalah dokumen yang menunjukkan kompensasi yang dibayarkan oleh perusahaan kepada masing-masing pemilik tanah Dayak Hibun. Perusahaan atau komunitas tidak dapat menyerahkan tanda terima terraza untuk penyelidikan RSPO; Dokumen tersebut diyakini dipegang oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menerbitkan HGU kepada perusahaan tersebut.

Dalam keputusannya, RSPO mengatakan Teresa telah “membayar dasar pembebasannya” dengan diberikan izin. [the community’s] Hak atas tanah.

Namun Redetus menyatakan bahwa theraza adalah mekanisme yang lazim dalam masyarakat Sewa tanahnya kepada pihak lain; Tidak harus melepaskan hak atas tanahnya, ujarnya.

“Terasa bukan tindakan menjual tanah. Jadi tanahnya masih milik masyarakat,” kata Redatus.

Dikatakannya, satu-satunya yang berwenang menjelaskan apa itu Terasa adalah dewan adat masyarakat Dayak.

“Pada akhirnya [to dismiss the complaint]Kami menyimpulkan bahwa RSPO sengaja menciptakan penafsirannya sendiri [of Derasa]kata Redatus. Kami menganggapnya sebagai pencemaran nama baik terhadap hukum adat kami.

Salbius Seko, pakar hukum adat di Universitas Tanjungpura Kalimantan Barat, menilai salah jika menafsirkan terasa sebagai proses pelepasan hak atas tanah dengan cara menjual tanah.

“Jika ada yang menafsirkannya sebagai kompensasi atas perolehan hak atas tanah Terasa, itu merupakan pelanggaran terhadap hak masyarakat adat,” ujarnya.

“Kontroversi muncul ketika masing-masing pihak mengembangkan penafsirannya sendiri terhadap Teresa, sesuai dengan kepentingannya masing-masing,” RSPO mengakui.

BPN menolak merilis dokumen Teresa yang kini menjadi dokumen rahasia pemerintah.

“Kecuali Teresa… dapat dengan jelas menunjukkan bahwa sulit untuk mengatakan bahwa proses penyerahan lahan milik masyarakat kepada perusahaan telah memenuhi persyaratan FPIC,” kata RSPO.

READ  Pemeriksaan tempat imigrasi di 'Russian Village' di Ubud, tidak ada pelanggaran visa
Lahan gundul di Kalimantan Barat, Indonesia akan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Merah A. Gambar oleh Butler / Mongabe.

Tidak lagi berada di bawah RSPO

RSPO juga menyatakan bahwa anggota RSPO, Sime Darby Plantation, yang menjadi sasaran pengaduan tersebut, bukanlah pemilik MAS, yang sedang terlibat dalam sengketa tanah.

Pada tahun 2019, Sime Darby Plantation menjual saham MAS kepada perusahaan lain, PT Inti Nusa Sejahtera (INS), meski terdapat keberatan dan permohonan keras dari masyarakat agar Sime Darby Plantation tetap terlibat dalam penyelesaian perselisihan tersebut.

Pada tahun 2020, INS menjual mayoritas saham MAS kepada PT CAPITOL. Berbeda dengan Perkebunan Sime Darby, baik INS maupun CAPITOL bukanlah anggota RSPO dan oleh karena itu tidak dapat menjadi subyek penyelidikan Meja Bundar.

“[E]Jika para pihak sepakat untuk mengembalikan tanah kepada masyarakat dan HGU dicabut, maka status tanah tersebut berubah menjadi tanah negara dan pemerintah harus bersedia berkonsultasi dan menyetujui pengembalian tanah tersebut kepada masyarakat. Ditulis oleh RSPO.

Abdul Haris, juru kampanye TuK Indonesia, sebuah LSM yang mewakili komunitas Dayak Hibun dalam pengaduan tersebut, mengkritik RSPO atas lambatnya penyelidikan mereka, dan mencatat bahwa pengaduan tersebut diajukan pada tahun 2012, beberapa tahun sebelum MAS dijual ke INS.

Haris mengatakan RSPO jelas-jelas melanggar aturannya sendiri, yang mengharuskan panel pengaduan mengeluarkan keputusan dalam waktu 60 hari kerja setelah selesainya penyelidikan.

Berdasarkan timeline RSPO, para pengadu meminta agar permasalahan tersebut ditangani melalui negosiasi penyelesaian sengketa. Baru setelah negosiasi gagal, pada tahun 2017, mereka meminta agar permasalahan tersebut dikembalikan ke proses pengaduan, setelah itu RSPO menugaskan seorang ahli independen di bidang hukum pertanian untuk melakukan tinjauan hukum terhadap kasus tersebut.

Pakar menyampaikan laporannya pada 10 Februari 2020.

Jadi RSPO seharusnya sudah memberikan keputusannya dalam waktu 60 hari sejak tanggal tersebut, bukan tiga tahun kemudian, kata Haris. Ia menduga RSPO terhenti hingga Perkebunan Sime Darby mencabut MAS.

READ  Presiden WHO: G20 harus berinvestasi di dunia pasca-epidemi yang sehat dan lebih hijau

Satu Anggota Henry Barlow dari tim pengaduan RSPO juga ditugaskan di Perkebunan Sime Darby. Papan Pada tahun 2019.

RSPO membantah adanya konflik kepentingan, dan mengatakan bahwa Barlow mengundurkan diri dari mendengarkan pengaduan tersebut dan tidak pernah terlibat dalam pengambilan keputusan mengenai MAS.

“Sistem pengaduan RSPO adalah proses yang adil, transparan dan tidak memihak yang dipimpin oleh panel pengaduan independen yang terdiri dari individu-individu terkemuka dari berbagai latar belakang (termasuk masyarakat sipil),” kata RSPO kepada Mongabay melalui email.

Masyarakat suku berbaris saat parade di Pontianak, Kalimantan Barat, Indonesia. Gambar milik baka_neko_baka/flickr.

Langkah selanjutnya

Dayak Hibun mengajukan banding pada tanggal 5 Oktober setelah pengaduan mereka ditolak.

“Banding akan diproses sesuai dengan prosedur pengaduan dan banding,” kata RSPO.

Meskipun MAS dan perusahaan induknya saat ini, CAPITOL, bukanlah anggota RSPO, organisasi tersebut terus menyerukan keterlibatan.

“[T]“RSPO berharap para pihak akan terus terlibat dan mencapai resolusi damai yang mencerminkan kemajuan berkelanjutan di sektor kelapa sawit,” kata RSPO.

Gambar spanduk: Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat, Indonesia. Gambar oleh Nanang Sujana/CIFOR melalui Flickr (CC BY-NC-ND 2.0).

Komentar: Gunakan Format ini Kirim pesan ke penulis postingan ini. Jika Anda ingin mengirimkan komentar publik, Anda dapat melakukannya di bagian bawah halaman.

Artikel diterbitkan oleh Hayat

Kegiatan, Pertanian, Pertanian, Bisnis, Sertifikasi, Konflik, Pelanggar Lingkungan Perusahaan, Pelanggar Lingkungan Perusahaan, Korporasi, Lingkungan Hidup, Komunitas Adat, Budaya Adat, Budaya Adat, Hak Adat dan Warga Negara, Hak Adat dan Warga Negara, Kelapa Sawit, Kelapa Sawit, Perkebunan , Hutan Hujan, Konflik Sumberdaya, Rspo, Konflik Sosial, Keberlanjutan, Hutan Tropis

Mencetak