Minat terhadap aset digital melonjak di ekonomi terbesar di Asia Tenggara selama pandemi COVID-19, dengan jumlah pemilik aset kripto melonjak menjadi 11 juta pada akhir tahun 2021.
Data dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi menunjukkan bahwa tahun lalu total transaksi aset kripto di pasar komoditas berjangka berjumlah 859,4 triliun rupee ($59,8 miliar), lebih dari 10 kali lipat dari nilai transaksi tahun 2020.
Orang Indonesia diperbolehkan untuk memperdagangkan aset kripto sebagai komoditas tetapi mereka tidak diperbolehkan menggunakannya sebagai alat pembayaran.
“Aset kripto akan dikenakan pajak pertambahan nilai karena merupakan komoditas seperti yang didefinisikan oleh Kementerian Perdagangan. Ini bukan mata uang,” kata pejabat itu, Hesto Yuga Saksama, dalam konferensi pers. Jadi kami akan mengenakan pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai.
Dia menambahkan, pemerintah masih mengerjakan peraturan eksekutif untuk pajak.
Tarif pajak pertambahan nilai atas aset kripto jauh di bawah 11% yang dikenakan pada sebagian besar barang dan jasa Indonesia, sedangkan pajak penghasilan atas keuntungan modal, sebesar 0,1% dari total nilai transaksi, sama dengan pajak pada saham.
Para pejabat mengatakan bahwa undang-undang pajak yang luas yang disahkan tahun lalu adalah dasar hukum untuk perpajakan aset kripto. Undang-undang ini bertujuan untuk meningkatkan pemungutan penerimaan yang terkena dampak pandemi COVID-19.
“Gamer yang sangat menawan. Ahli web. Sarjana TV. Pecandu makanan. Ninja media sosial yang rajin. Pelopor musik hardcore.”
More Stories
Indonesia siap menjadi ekonomi hijau dan pusat perdagangan karbon global
Indonesia berupaya menggenjot sektor ritel untuk mendukung perekonomian
Ekonomi perawatan di Indonesia