POSPAPUA

Ikuti perkembangan terkini Indonesia di lapangan dengan berita berbasis fakta PosPapusa, cuplikan video eksklusif, foto, dan peta terbaru.

Opsi Indonesia: Era Baru Kerja Sama Ekonomi – Katakan Tidak pada BRICS, Ya pada OECD

Opsi Indonesia: Era Baru Kerja Sama Ekonomi – Katakan Tidak pada BRICS, Ya pada OECD

Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia dihadapkan pada dua pilihan penting untuk menjadi landasan perekonomian Indonesia. Lihatlah masalah ini dari sudut pandang kebijakan luar negeri Indonesia, yang dihadapkan pada tindakan penyeimbangan yang kompleks antara tindakan “aktif dan bebas” yang tradisional dan mengakar serta meningkatnya hubungan ekonomi dengan Tiongkok. Kontradiksi ini menimbulkan pertanyaan penting mengenai apakah Indonesia sebaiknya bergabung dengan blok ekonomi BRICS atau OECD. Meskipun kedua opsi tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, namun kajian mendalam terhadap kedua organisasi tersebut dan dampaknya terhadap Indonesia, khususnya perekonomian, menunjukkan bahwa bergabung dengan OECD mungkin merupakan opsi yang lebih cocok bagi negara ini.

BRICS, singkatan dari Brazil, Russia, India, China dan South Africa, awalnya dimaksudkan untuk bertindak sebagai penyeimbang terhadap lembaga-lembaga ekonomi yang dipimpin Barat seperti G7, Dana Moneter Internasional, dan Bank Dunia. Namun, dinamika internal Indonesia dan semakin besarnya pengaruh Tiongkok telah menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi keselarasan Indonesia dengan tujuan-tujuan Beijing. Misalnya, investasi besar-besaran Tiongkok di Indonesia, seperti pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung senilai $7,3 miliar, telah menimbulkan spekulasi bahwa Indonesia condong ke arah pengaruh ekonomi dan strategis Tiongkok.

Selain itu, BRICS menghadapi permasalahan internal, seperti sengketa wilayah antara Tiongkok dan India. Ketidakstabilan internal ini dapat berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia dan menimbulkan ketidakpastian bagi investor asing. Selain itu, menurut Nur Rashmat Yuliantoro, Kepala Departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), keputusan Indonesia mempertimbangkan persepsi masa depan Amerika Serikat dan sekutunya. The China Project.Com juga melaporkan bahwa Indonesia memiliki kekuatan hubungan ekonomi dan investasi dengan semua negara BRICS, khususnya Tiongkok, namun juga harus menganalisis kontak mereka dengan anggota BRICS lainnya dan tidak hanya bergantung pada negara-negara yang memiliki Tiongkok.

READ  COVID-19 menarik lebih banyak pekerja ke pekerjaan sektor jasa bergaji rendah - Ekonomi

Rachmat menambahkan bahwa permasalahan terbesar yang dihadapi Indonesia dalam bergabung dengan BRICS adalah meyakinkan masyarakat internasional, khususnya Amerika Serikat dan sekutunya, bahwa partisipasi tersebut tidak melanggar prinsip non-blok, yaitu kebijakan luar negeri yang “bebas dan aktif”. dan bahwa keputusan ini diambil sepenuhnya demi kepentingan nasional Indonesia.

Di sisi lain, Bhima Yudhisthira, Direktur Center for Economic and Legal Studies (CELUS), menilai keanggotaan Indonesia di BRICS dapat memberikan peluang keringanan atau pembatalan utang, seperti utang Tiongkok. Seperti kita ketahui bersama, Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan China, termasuk utang BUMN. Namun, beberapa waktu lalu pernyataan Presiden Jokowi menjadi tahap awal penentuan apakah Indonesia akan bergabung dengan BRICS atau tidak. “Kami sedang meninjau dan mempertimbangkan untuk bergabung dengan BRICS, namun kami tidak akan membuat keputusan terburu-buru.” Pemerintah belum menyampaikan pernyataan niat untuk bergabung dengan organisasi tersebut.

Bergabung dengan OECD memberikan jalan bagi Indonesia ke depan, terutama dalam isu-isu ekonomi yang strategis dan bermanfaat. OECD adalah sekelompok negara maju yang berupaya mendorong kemajuan ekonomi dengan menerapkan standar tertentu. Keanggotaan Indonesia di OECD akan membawa banyak manfaat, antara lain:

Efisiensi Ekonomi dan Tata Kelola Partisipasi Indonesia dalam OECD akan membantu meningkatkan efisiensi ekonomi dan tata kelola melalui standarisasi perpajakan, undang-undang ketenagakerjaan, perlindungan lingkungan hidup dan isu-isu lainnya. Hal ini merupakan peluang untuk menarik investor internasional dan meningkatkan posisi ekonomi global Indonesia.

Akses ke pasar Eropa juga akan lebih mudah bagi Indonesia, sebagai anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan, karena keanggotaan organisasi tersebut mencakup negara-negara tersebut. Hal ini penting untuk mendiversifikasi perekonomian. Hal ini akan sangat bermanfaat bagi ekspor Indonesia, karena beberapa negara OECD merupakan importir utama, seperti Inggris dan Swiss.

READ  G-20 terlalu besar untuk gagal, jadi inilah saatnya untuk membuat konsesi di Rusia dan menyelamatkan ekonomi global

Terakhir, transfer ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu keuntungan terpentingnya adalah OECD berfokus pada pengetahuan dan teknologi dari sini, yang memungkinkan Indonesia memanfaatkan pengalaman negara-negara industri untuk memperkuat kebijakan dan institusi ekonominya. Seperti dilansir Jakarta Globe. Hal ini penting untuk mencapai tujuan Indonesia menjadi salah satu dari empat negara dengan perekonomian terbesar di dunia pada tahun 2045, serta aspirasi negara untuk menjadi Indonesia Imas.

Namun bergabung dengan OECD bukannya tanpa hambatan. Indonesia harus mencapai standar OECD yang tinggi, yang merupakan upaya besar. Misalnya, seperti yang dilaporkan The Diplomat.com, OECD keberatan dengan larangan ekspor logam mentah oleh Indonesia, dengan alasan pembatasan ekspor yang tidak adil. Selain itu, Indonesia perlu menjalin hubungan diplomatik dengan Israel yang selama ini sangat menentang sikap Indonesia. Hal ini juga dapat menjadi topik yang sulit di tingkat lokal dan global.

Pada akhirnya, karena ada lebih banyak nilai yang sejak awal sesuai dengan OECD. Perjalanan Indonesia untuk bergabung dengan OECD ditandai dengan kemajuan yang luar biasa, dan tantangan-tantangan di atas mulai menemukan solusinya satu per satu. Pada Mei 2024, Indonesia resmi bergabung dengan Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan. Indonesia menerima peta jalan aksesi di Paris yang menguraikan syarat dan ketentuan aksesi itu sendiri, seperti menyelaraskan kebijakan dengan standar dan praktik terbaik OECD. Penilaian teknis dilakukan di berbagai bidang kebijakan, termasuk perdagangan terbuka, investasi, tata kelola publik, inisiatif integritas dan anti-korupsi, serta perlindungan lingkungan. Meskipun kebijakan proteksionis Indonesia, seperti persyaratan kandungan lokal dan larangan ekspor bijih nikel dan mineral mentah lainnya, kontroversial dan mungkin juga tampak bertentangan dengan prinsip-prinsip OECD, negara ini berkomitmen untuk meninjau kebijakan-kebijakan ini agar selaras dengan standar organisasi tersebut. Selain itu, Indonesia telah mencapai kemajuan yang signifikan dalam menerapkan prinsip-prinsip OECD, menetapkan instrumen hukum, dan menjalin hubungan dengan badan-badan utama organisasi tersebut. Komitmen negara untuk bergabung dengan OECD diharapkan dapat memberikan banyak manfaat, antara lain pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, kepercayaan investor yang meningkat, serta posisi negosiasi global yang lebih kuat.

READ  Pegawai negeri Indonesia akan bekerja dari Bali untuk meningkatkan ekonomi, tetapi para ahli meragukan dampaknya

Terakhir, jika ditanya apakah Indonesia akan membuka hubungan formal dengan Israel sebagai salah satu syarat keanggotaan penuh di OECD, jawabannya adalah tidak. Indonesia secara konsisten membantah adanya rencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebagai syarat untuk bergabung dengan organisasi tersebut. Menanggapi saran agar Indonesia dapat memulihkan hubungan dengan Israel agar dapat bergabung dengan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan, Kementerian Luar Negeri kembali menegaskan pendiriannya. Kementerian juga menyatakan bahwa posisi Indonesia tidak berubah dan terus mendukung kemerdekaan Palestina dalam konteks solusi dua negara.