POSPAPUA

Ikuti perkembangan terkini Indonesia di lapangan dengan berita berbasis fakta PosPapusa, cuplikan video eksklusif, foto, dan peta terbaru.

Menjaga netralitas aparat keamanan dalam pemilu

Tempo.co, Jakarta – Meminjam kata-kata peringatan dari iklan rokok: Tidak adanya netralitas aparat keamanan dalam pemilu merusak demokrasi, mengganggu keamanan dan membahayakan bangsa. Oleh karena itu, aparat keamanan harus menjaga netralitas di setiap tingkatan. Mereka tidak boleh jujur: secara terbuka berpura-pura berkampanye untuk netralitas, namun berpihak pada calon presiden dan wakil presiden tertentu.

Dengan dilaksanakannya pemilu pada 14 Februari 2024, fokusnya adalah pada netralitas Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Secara formal, pada bulan Oktober, Kapolri Jenderal Listio Sigit Prabowo memerintahkan jajarannya untuk tidak memihak calon mana pun. Namun ada rumor kuat bahwa para pejabat sering berupaya untuk mensukseskan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raqa. ‘Orang tertentu’ pun menekan dua pasangan lainnya, Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md.

Irjen Pol harus memastikan tidak terjadi pelanggaran berat seperti itu. Netralitas polisi dalam pemilu tidak bisa ditawar. Keputusan MPR tentang Peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri No. Pasal 10 VII/2000 mengamanatkan polisi untuk tetap netral dan tidak terlibat dalam politik praktis. UU Polri No. 2/2002 juga memberlakukan kewajiban yang sama. Keamanan, ketertiban, dan kelancaran proses demokrasi menjadi tanggung jawab utama lembaga.

Tanggung jawab ini tidak dapat dipenuhi jika pejabat berada di pihak calon. Bayangkan betapa sulitnya aparat kepolisian di lapangan jika terjadi protes terhadap hasil pemilu padahal masyarakat mengetahui dirinya mendukung salah satu kandidat. Dalam situasi ini, kelompok yang merasa kalah bisa melihat aparat kepolisian sebagai musuh.

Jika otoritas negara lain tidak bersikap netral, risikonya akan meningkat. Dan ada tanda-tanda jelas bahwa hal ini sedang terjadi. Anggota TNI, PNS, dan kepala desa serta aparat dikerahkan untuk bekerja demi kemenangan seorang calon. Mungkin mereka sudah paham, namun perlu diingatkan: ketiga paslon harus dipandang setara. Meskipun ia memiliki hubungan keluarga dengan Presiden Joko Widodo, bos utama seluruh pejabat negara, Gibran hanyalah salah satu calon wakil presiden yang bersaing. Seharusnya mereka tidak memberikan perlakuan istimewa tapi ‘melindungi’ jalan kemenangan putra sulung Presiden itu. Juga salah jika pejabat memihak kandidat lain.

Ungkapan “kontinuitas pembangunan” dijadikan alasan atas sifat bias aparat keamanan. Dari visi dan misi yang terungkap selama ini, belum ada satu pun pasangan calon yang mengaku akan mengubah arah pembangunan yang ditempuh Jokowi selama 10 tahun terakhir secara radikal. Oleh karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa kurangnya netralitas aparat keamanan akan melemahkan kepentingan mereka dalam mempertahankan jabatan elite.

Masyarakat harus bekerja sama untuk memantau aparat keamanan di lapangan. Setiap orang harus berani melaporkan pelanggaran netralitas dalam pemilu. Media sosial bisa menjadi cara yang bagus untuk menunjukkan bukti netralitas. Jaringan saksi dan pemantau harus diperkuat untuk memastikan tidak ada penyimpangan yang terjadi pada hari pemungutan suara. Jika perlu, pemantau pemilu asing dapat diizinkan untuk mengamati pemilu. Harus dipastikan bahwa bias aparat keamanan dalam pemilu tidak membahayakan negara.

Baca cerita lengkapnya di Majalah Tempo English