JAKARTA (ANTARA) – Bayangkan menjadi kapten kapal saat badai dan air pasang, merasakan ketidakpastian mencapai tujuan, dalam situasi yang menantang, bagaimana mencapai tujuan dengan selamat menjadi pemikiran besar.
Sebaliknya, bayangkan Anda sedang berlayar di laut yang tenang. Saya yakin Anda dapat dengan mudah memprediksi kapan kapal akan mencapai tujuannya.
Kita bisa belajar beberapa hal dari ini. Pertama, ketidakstabilan mengarah pada ketidakpastian. Ketidakpastian membuat kita sulit memprediksi situasi.
Kedua, ketidakpastian dapat menurunkan ekspektasi terhadap tujuan yang ingin kita capai. Kondisi ini tidak hanya berlaku pada kasus di atas, tetapi juga pada aspek yang lebih kompleks, misalnya perekonomian Indonesia.
Semua kebijakan ekonomi bertujuan untuk menciptakan kemakmuran dan mendistribusikannya kepada semua orang sebagai pelaku ekonomi. Namun, membuat kebijakan ekonomi yang tepat itu menantang.
Apalagi, kebijakan tersebut harus diambil di tengah ketidakstabilan ekonomi global. Misalnya, siapa yang bisa memprediksi pandemi Covid-19 2020 10 tahun lalu?
Salah satu bentuk ketidakstabilan ekonomi yang kita hadapi adalah situasi yang membawa sebagian negara ke jurang resesi dan sebagian lainnya mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Ekonomi Keynesian
Berbagai peristiwa yang menyebabkan ketidakstabilan ekonomi tidak dapat kita hindari. Namun, kami masih dapat menguranginya dan merespons dengan tepat.
Mengacu pada ekonomi Keynesian, peran pemerintah adalah meningkatkan permintaan agregat, lapangan kerja dan redistribusi kekayaan.
Menurut pandangan Keynesian, pemerintah dapat mengintervensi perekonomian melalui kebijakan pengeluaran pemerintah.
Hal ini diyakini akan meningkatkan permintaan agregat dan, di sisi lain, menciptakan lapangan kerja karena meningkatnya permintaan tenaga kerja sebagai faktor produksi.
Ekonomi Keynesian telah dipilih oleh banyak negara untuk mengatasi ekonomi yang lesu, tidak terkecuali Indonesia. Jika kita perhatikan, Indonesia telah menyediakan belanja pemerintah dalam jumlah yang sangat besar setiap tahunnya.
Pemerintah membelanjakan Rp2.786,4 triliun pada tahun 2021 dan Rp3.090,8 triliun pada tahun 2022 untuk belanja pemerintah. Pengeluaran pemerintah memberikan kontribusi lebih dari 15 persen terhadap PDB Indonesia sebesar Rp16.976,6 triliun pada tahun 2021 dan Rp19.588,4 triliun pada tahun 2022.
Bagaimana pemerintah dapat merealisasikan pengeluaran pemerintah yang sangat besar ini? Tentu saja, ini hanya dapat dilakukan dengan sumber daya keuangan yang memadai. Ya, salah satu jawabannya adalah pajak yang kita bayarkan.
Pada tahun 2021, pemerintah menghimpun penerimaan pajak sebesar Rp1.278,6 triliun, meningkat menjadi Rp1.716,8 triliun pada tahun 2022. Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa penerimaan pajak merupakan salah satu faktor penting dalam pelaksanaan pengeluaran pemerintah
Pajak sebagai salah satu unsur penting dalam pelaksanaan APBN secara tidak langsung berperan dalam mewujudkan stabilitas ekonomi dan pemerataan manfaat.
Stabilitas perekonomian dapat diukur melalui indikator makroprudensial seperti laju pertumbuhan ekonomi, fluktuasi nilai tukar dan fluktuasi suku bunga (Rusdiana, 2019).
Jika indikator makroprudensial menunjukkan hasil yang positif maka perekonomian stabil dan tidak terlalu bergejolak. Lalu, bagaimana peran pajak?
Bukan hanya sebagai sumber penghasilan
Pajak memiliki dua fungsi utama: anggaran dan regulasi. Dalam proses penganggaran, pajak berperan sebagai sumber dana untuk membiayai pengeluaran pemerintah.
Dalam proses yang diatur, pajak berperan sebagai alat untuk mengarahkan dan mengatur jalannya perekonomian melalui kebijakan perpajakan. Kedua kegiatan ini beroperasi secara bersamaan dan mempengaruhi perekonomian nasional.
Ketika kita berbicara tentang ekonomi nasional, mari kita lihat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi sering dijadikan sebagai indikator kunci dalam menilai perekonomian suatu negara.
Pendekatan yang umum digunakan untuk menghitung PDB adalah pendekatan biaya.
Dengan pendekatan ini, PDB dihitung dari penjumlahan konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor neto, atau ekspor dikurangi impor.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pengeluaran pemerintah memiliki andil dalam menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi.
Pajak memegang peranan penting dalam menjamin tersedianya dana untuk berbagai pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah, baik fisik maupun program, dapat memberikan multiplier effect terhadap perekonomian, misalnya pembangunan jalan dan pelabuhan.
Dalam konstruksinya, proyek-proyek ini akan menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja. Setelah proyek selesai, masyarakat akan mendapat manfaat dari peningkatan efisiensi dan efektivitas dalam pengiriman barang.
Tentunya hal ini akan menekan biaya persediaan yang akan menurunkan harga pokok barang dan meningkatkan daya beli masyarakat.
Pada saat ekonomi tidak stabil, pajak juga berkontribusi terhadap pemulihan ekonomi nasional. Pemerintah telah memberikan insentif pajak kepada pekerja, industri, dan UMKM sebesar Rp540,7 triliun selama periode 2020-2021 selama pandemi COVID-19.
Pajak juga turut andil dalam mempercepat penanggulangan Covid-19 dengan memberikan insentif berupa pembebasan pajak atas barang-barang yang dibutuhkan untuk mengatasi penyakit tersebut. Ini adalah contoh bagaimana pajak tidak hanya bertujuan untuk mengumpulkan penerimaan negara, tetapi juga berfungsi sebagai alat pemerintah untuk menstabilkan kondisi ekonomi, sehingga perekonomian Indonesia terhindar dari resesi dan tumbuh dalam waktu yang relatif singkat.
Dalam menyeimbangkan kesejahteraan, pajak memegang peranan penting. Pajak, khususnya pajak penghasilan, dipungut dengan mempertimbangkan keadaan masing-masing orang.
Pemerintah memberikan pembebasan pajak penghasilan bagi pekerja perorangan yang berpenghasilan antara Rp54 juta hingga Rp72 juta per tahun, tergantung jumlah tanggungan yang mereka miliki. Pemerintah juga membebaskan pajak bagi pelaku UMKM perorangan dengan omzet hingga Rp500 juta dalam setahun.
Tidak hanya membebankan pendapatan yang tidak kena pajak, tetapi pemerintah juga menggunakan tarif pajak progresif untuk mendistribusikan kembali pendapatan. Artinya semakin tinggi pendapatan yang diperoleh maka semakin tinggi pula pajak yang dibayarkan, begitu pula sebaliknya; Semakin rendah pendapatan, semakin rendah pajak
Saat ini, pemerintah menggunakan tarif pajak berjenjang mulai dari lima persen hingga 35 persen. Redistribusi pendapatan ini diharapkan menjadi solusi untuk meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah dengan tetap menjaga tingkat penerimaan pajak dari kontribusi orang super kaya.
tujuan akhir
Pada akhirnya, tujuan utama kebijakan ekonomi bukanlah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi setinggi mungkin, mengumpulkan lebih banyak pajak dan memungkinkan pertumbuhan sebanyak mungkin, tetapi untuk memastikan bahwa orang hidup dalam kemakmuran dan kesejahteraan. .
Pemerintah seperti koki yang harus memastikan kue ekonomi disajikan di atas meja setiap hari dan setiap orang yang duduk di meja mendapat bagian yang adil. Tentu saja, ini bukan tugas yang mudah.
Oleh karena itu, setiap orang harus memahami dan berpartisipasi untuk membangun ekonomi yang berkelanjutan dan masyarakat yang sejahtera.
*) Pengajar adalah pegawai Kementerian Keuangan
Pandangan dan pendapat yang dikemukakan di halaman ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan resmi atau posisi Kantor Berita ANTARA atau penulis.
Berita Terkait: Kemenkeu tingkatkan pajak untuk tingkatkan penerimaan negara: MPR
Berita Terkait: Arah Kebijakan Perpajakan 2024 Dioptimalkan Melalui Core Tax System: Menteri
Berita terkait: Ketekunan membantu pembayar pajak berinvestasi dalam pendidikan: Kementerian
“Pembaca yang ramah. Penggemar bacon. Penulis. Twitter nerd pemenang penghargaan. Introvert. Ahli internet. Penggemar bir.”
More Stories
Anies Baswedan berpeluang maju di Pilkada Jabar: Juru Bicara
Indonesia Atasi Utang Perumahan dengan Subsidi FLPP
Tarian terakhir Jokowi