POSPAPUA

Ikuti perkembangan terkini Indonesia di lapangan dengan berita berbasis fakta PosPapusa, cuplikan video eksklusif, foto, dan peta terbaru.

Ini bukan hanya tentang rumah

Ini bukan hanya tentang rumah

KUALA LUMPUR, 29 Juni – Kegaduhan yang terjadi baru-baru ini di negara bagian Sabah seputar suku Bajau Laut, kadang-kadang dikenal sebagai Palau, telah membuat sekte yang sering dianiaya ini kembali menjadi sorotan.

Konflik terbaru antara negara dan suku Bajau di Sabah berkisar pada pengusiran suku tersebut dari tanah airnya.

Namun episode terbaru ini sudah ada sejak lama dan benar-benar menyoroti tantangan yang dihadapi hak-hak masyarakat adat serta peran perwalian yang dimainkan oleh negara.

Siapakah Kecapi Bajau itu?

Suku Bajau Laut yang sebagian besar mendiami perairan Asia Tenggara, khususnya di Filipina, Malaysia, dan Indonesia, sering disebut sebagai “pengembara laut” atau “gipsi laut”, dan terkenal karena kehebatan menyelam mereka yang luar biasa serta kedekatan mereka dengan laut. Laut.

Secara tradisional, mereka menghuni rumah terapung atau rumah panggung yang didirikan di atas air, dan mata pencaharian mereka bergantung pada penangkapan ikan dan mencari makan dari sumber daya laut.

Meskipun ada yang pindah ke pemukiman di darat, ada pula yang tetap bertahan hidup nomaden di laut. Keduanya sering kali berjalan dalam batas-batas tempat tinggal resmi di negara mana pun.

Ketegangan terbaru meletus ketika pihak berwenang menghancurkan dan membakar tempat tinggal di dalam Taman Laut Tun Sakaran di pantai timur Sabah, di mana mereka kadang-kadang dijauhi bahkan oleh orang-orang Bajau yang dinaturalisasi dan telah menganut peradaban modern.

Mengapa pemerintah Sabah mengejar mereka?

Merupakan tanggung jawab otoritas negara bagian Sabah untuk meningkatkan keamanan nasional dan melindungi lingkungan. Oleh karena itu, langkah evakuasi para pemukim tersebut merupakan respons terhadap maraknya bangunan tidak sah di dalam batas taman laut.

READ  Keputusan Jokowi untuk tidak bergabung dengan BRICS saat ini benar, namun aliansi ini tetap penting bagi Indonesia

Menteri Pariwisata, Kebudayaan dan Lingkungan Hidup Datuk Christina Liew menekankan bahwa langkah-langkah ini diperlukan untuk menekan ancaman keamanan dan mengurangi pelanggaran lingkungan.

Namun, operasi tersebut, yang mencakup wilayah sekitar Buhi Dulang, Maiga, Bodgaya, Sepangkat dan Pulau Sibuan, menyoroti banyaknya tantangan yang dihadapi masyarakat Bajau Laut.

Konflik antara suku Badui yang mencari tanah air permanen dan negara

Banyak dari mereka, meskipun ada ancaman deportasi, tetap tinggal di wilayah seperti Semporna dan Sabah, padahal status mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan membuat mereka rentan untuk digolongkan sebagai imigran ilegal atau imigran gelap.

Orang tua yang waspada sering kali tidak melakukan pencatatan kelahiran, karena takut akan adanya pembalasan, sehingga membatasi akses anak mereka terhadap pendidikan dan layanan kesehatan.

Meskipun Indonesia dan Malaysia secara informal telah sepakat untuk tidak menahan anak-anak saat berada di sekolah, mereka tetap rentan terhadap penangkapan di luar lingkungan sekolah.

Masyarakat Bajau Laut juga dikritik karena praktik penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan, termasuk penangkapan ikan dengan bahan peledak dan penggunaan sianida, yang merusak ekosistem laut.

Selain itu, perselisihan mengenai hak atas tanah, alokasi sumber daya, dan pertemuan dengan otoritas lokal memperburuk keadaan mereka.

Seruan dari kelompok hak asasi manusia dan LSM untuk menghentikan penggusuran di Semporna dan meningkatkan bantuan kepada Bajau Laut terus bergema.

Para pembela HAM menekankan perlunya dialog dan negosiasi untuk mencapai solusi berkelanjutan yang menjaga martabat dan kesejahteraan masyarakat yang tangguh ini.


Bacaan yang disarankan: