Kartasasmita mengatakan, landasan utama perubahan kebijakan tersebut adalah untuk mempercepat pembangunan ekosistem kendaraan listrik di Tanah Air dan mewujudkan Indonesia yang lebih bersih.
“Tujuan ini tentunya berdampak pada peningkatan investasi, merangsang produktivitas dan daya saing industri, serta memperluas lapangan kerja,” katanya mengutip Antara.
Masyarakat Indonesia yang diajak bicara oleh CNA masih belum tertarik untuk membeli kendaraan roda dua listrik. Banyak di antara mereka yang menyatakan bahwa harga yang mahal serta ketidaktahuan terhadap merek-merek yang ada di pasar menjadi penghalang meskipun ada peningkatan subsidi.
Pak Agung Borwadi, yang tinggal di Bekasi, mengatakan membeli sepeda motor listrik di luar anggarannya. Ia menambahkan, baterai yang digunakan untuk mengoperasikan sepeda motor listrik dapat kehilangan kapasitasnya seiring berjalannya waktu, dan tidak dapat diisi dayanya di mana pun.
“Mesinnya juga tidak kaku dan tidak stabil. Jual kembali sulit dan harga jual kembali (juga lebih rendah). Pelayanan purna jual juga tidak terjamin seperti ketersediaan suku cadang,” kata Pak Borwadi kepada CNA.
Tingginya biaya juga menghalangi penduduk Indonesia lainnya untuk beralih dari sepeda motor tradisional bertenaga bahan bakar ke sepeda motor ramah lingkungan.
“Saya tidak tertarik membelinya karena harganya masih terlalu mahal,” kata Suryadi, yang seperti kebanyakan orang Indonesia, hanya menggunakan satu nama. “Dan mereknya juga belum familiar (bagi saya), saya baru mendengarnya.”
“Di mana saya bisa mencari suku cadang jika ada yang rusak? Beda kalau merek terkenal seperti Honda, Yamaha, atau Suzuki. Dengan situasi perekonomian saat ini, tidak masuk akal dengan harga segini,” tambah warga asal Subang, Barat. Jawa.
Verifikasi yang dilakukan CNA menunjukkan merek sepeda motor listrik yang ada di Indonesia antara lain merek lokal seperti Viar, Selis, Gesits, Alva, Wuling asal China, dan lain-lain. Harga sepeda motor listrik ini berkisar antara Rs 4,8 lakh hingga Rs 37,75 lakh.
Sementara itu, Pak Ika Indra yang berdomisili di Bogor menuturkan, sepeda motor listrik kemungkinan tidak mampu menopang bobot dirinya maupun bobot pengendaranya.
Ia menambahkan, ketenangan mobil juga dapat menimbulkan risiko keselamatan.
“Saya tidak akan membeli sepeda motor listrik meskipun istri saya menginginkannya. Dilihat dari kekuatan mobil listrik, saya rasa saya tidak akan mampu mengendarainya. Berat badan saya 116kg, apalagi istri saya. Saya ragu sepedanya akan mampu membawa saya, terutama saat mendaki.
Kekhawatiran lainnya adalah sepeda motor listrik ini tidak mengeluarkan suara karena sebagai orang yang sudah lama mengendarai sepeda motor, selain kaca spion kita juga harus mendengar suara sepeda motor untuk menjaga keselamatan berkendara. Dia berkata.
Issa yang berdomisili di Depok mengungkapkan kekhawatirannya apakah sepeda motor listrik benar-benar merupakan alternatif ramah lingkungan.
“Saya kira selama listrik masih dihasilkan oleh pembangkit listrik tenaga uap (yang) masih menggunakan batu bara, dampaknya mungkin tidak akan terlalu besar. Belum lagi permasalahan limbah aki kendaraan listrik yang tidak bisa didaur ulang.
“Kebijakannya harus memperbaiki angkutan umum dan menurunkan biayanya sehingga masyarakat bisa mengubah perilakunya dari menggunakan kendaraan pribadi menjadi angkutan umum,” ujarnya.
“Gamer yang sangat menawan. Ahli web. Sarjana TV. Pecandu makanan. Ninja media sosial yang rajin. Pelopor musik hardcore.”
More Stories
Indonesia siap menjadi ekonomi hijau dan pusat perdagangan karbon global
Indonesia berupaya menggenjot sektor ritel untuk mendukung perekonomian
Ekonomi perawatan di Indonesia