Tempo.co, Jakarta
Kehilangan suara karena berbeda
Hari Demokrasi Internasional; Orang transgender masih ditolak hak pilihnya
Puluhan ribu waria terancam kehilangan hak pilihnya pada pemilihan umum 2024 karena kurangnya dokumen kewarganegaraan. Orang-orang yang dideportasi menghadapi lebih banyak masalah karena label lesbian, gay, biseksual, transgender, queer dan interseks (LGBTQI) mereka. Juga Jaring.id, Quran Tempo Dalam rangka Hari Demokrasi Internasional yang jatuh setiap tanggal 15 September, mereka bertemu dengan banyak waria di berbagai daerah, termasuk Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur.
Ditinggalkan di Partai Demokrat
Mengapa Waria Rentan di Pemilu 2024
Menjelang pemilihan umum 2024, kaum transgender masih berisiko tidak bisa memilih. Selain terputus dari keluarga, hak politik mereka juga dicabut.
Pada Hari Demokrasi Internasional, Kamis, 15 September 2022, kaum transgender masih dikucilkan dari politik Indonesia. Puluhan ribu waria dicopot identitasnya sebagai warga negara Indonesia dan kehilangan hak pilihnya. Dalam hiruk pikuk pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah mereka hanya dilihat sebagai masyarakat penonton, hiburan atau propaganda.
Selama tiga bulan sejak Juni 2022, Quran Tempo Dan Jaring.id Berkolaborasi dengan Liputan Khusus untuk mengamati secara dekat situasi yang dihadapi waria di beberapa daerah. Tim mengunjungi mereka di Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Nusa Tenggara Timur. Wawancara jarak jauh juga dilakukan dengan tokoh masyarakat transgender di Jawa Barat, Bali dan Aceh. Ini adalah yang pertama dari dua seri liputan khusus waria di pusaran politik.
Laporan bersama ini dimungkinkan oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dan Dukungan Regional Asia-Pasifik untuk Pemilu dan Transisi Politik (RESPECT). Proyek ini juga melibatkan Pusat Jurnalisme Investigasi Filipina (PCIJ) dan Lafayette News (Timor Leste).
“Saya diasingkan, tidak dilindungi.”
Air mata Jeni kembali bercucuran mengingat hari-hari awalnya di Yogyakarta hampir dua dekade lalu. Saat itu, halaman stasiun Lempuyangan adalah rumahnya. Persimpangan Candi Brambanan adalah mata pencahariannya sebagai seniman jalanan selama bertahun-tahun.
Jeni mendarat di Yogyakarta pada tahun 2003, bukan untuk perjalanan. Ia diusir dari rumahnya di Subang, Jawa Barat. Keluarga keberatan dipilih sebagai transgender. Jeni ditunjuk sebagai laki-laki saat lahir 39 tahun yang lalu dan diberi nama Nendi. “Orang pertama yang mendiskriminasi saya adalah keluarga saya dan kemudian masyarakat. Saya laki-laki yang terabaikan,” kata Jeni Yogyakarta saat ditemui di markas Keluarga Waria.
Sepanjang hari, Selasa, 30 Agustus, Jeni menangis lagi dan lagi. Dia tidak menyesali pilihan gendernya. Namun selama tujuh tahun terakhir, ia menyadari bahwa hidup “di pengasingan” sejak masa mudanya praktis telah membuatnya kehilangan identitasnya sebagai warga negara Indonesia.
Selama hampir dua dekade, ia hidup tanpa dokumen warga. Saat itu, Jenny tidak menerima haknya sebagai warga negara, termasuk politik. “Saya tidak bisa memilih SBY dua periode dan Jokowi dua periode,” kata Jeni, yang pelatihan hukum 2015 oleh Badan Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengajarinya tentang hak politik. “Saya tidak menyadari hal ini sebelum berfokus pada mendapatkan makanan dan hidup.”
Sejak saat itu, kata Jeni, dirinya mengalami kesulitan dalam mengajukan KTP atau KTP. Tiga permohonan yang dia ajukan ke Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Slayman gagal. Dia tidak dapat memenuhi beberapa persyaratan, termasuk surat rekomendasi untuk memindahkannya. Untuk mengatasinya, dia harus kembali ke Subang. “Pihak berwenang tidak tahu bahwa keluarga saya tidak mau menerima saya,” katanya.
Kerja kerasnya terbayar untungnya pada Agustus tahun lalu. Melalui program advokasi warga yang dijalankan oleh Sura Kita, Jeni akhirnya mendapatkan kartu identitas. Selain KTP, ia juga dapat memiliki kartu bank, nomor pokok wajib pajak atau NPWP, dan kartu peserta Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS).
Suara Kita adalah organisasi yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi kelompok lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, dan interseks (LGBTQI). Dalam beberapa tahun terakhir, Suwara Kita aktif melobi Kementerian Dalam Negeri untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh kaum waria seperti Jeni. “Masalah utamanya adalah Nomor Induk Kependudukan dan KTP,” kata Hartoyo Koordinator Suara Kita, Minggu, 12 Juni.
Kementerian Dalam Negeri telah mulai membuat kemajuan dalam menerbitkan kartu identitas bagi waria. Korban bencana alam, suku di daerah terpencil, masyarakat yang terpinggirkan dan sangat miskin, penyandang disabilitas mental dan difabel tergolong kelompok rentan dalam mengakses layanan warga.
Pada tanggal 26 Agustus 2021, Direktorat Kependudukan dan Pencatatan Sipil menerbitkan Surat Edaran No. 470/11320/Dukcapil tentang pendataan dan penerbitan dokumen administrasi bagi waria. Surat edaran yang dikirimkan ke seluruh dinas kependudukan dan pencatatan sipil itu dikatakan menjamin kemudahan dan kesetaraan perlakuan bagi waria dalam pengurusan KTP.
Namun, ada masalah dengan implementasi. Hardoyo mengatakan itu tergantung pada kepekaan pemerintah daerah terhadap waria. Alhasil, tak semua wanita trans seberuntung Jeni.
Pendataan awal Sura Kita memperkirakan ada 32.991 waria di seluruh Indonesia. Namun sejauh ini baru 4.742 orang yang memiliki KTP. Artinya, hanya satu dari tujuh waria yang memiliki dokumen kewarganegaraan. “Bersama masyarakat sekitar, kami melakukan pendataan agar waria bisa segera mendapatkan KTP,” kata Hardoyo.
“Pembaca yang ramah. Penggemar bacon. Penulis. Twitter nerd pemenang penghargaan. Introvert. Ahli internet. Penggemar bir.”
More Stories
Anies Baswedan berpeluang maju di Pilkada Jabar: Juru Bicara
Indonesia Atasi Utang Perumahan dengan Subsidi FLPP
Tarian terakhir Jokowi