- Jaringan pemerintah daerah di seluruh Indonesia berupaya untuk beralih dari pembangunan ekonomi berbasis komoditas ke solusi berbasis alam yang berkelanjutan.
- Sebagian besar kabupaten-kabupaten ini sangat bergantung pada perkebunan monokultur seperti kelapa sawit atau industri ekstraktif lainnya seperti minyak dan gas, dan sedang melakukan transisi untuk lebih melindungi hutan dan lahan gambut serta hasil hutan asli Indonesia.
- Kabupaten Siak, yang terletak di jantung perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau, juga mengalami kemajuan, dimana perusahaan kelapa sawit dan pulp besar mendukung pengembangan produk alami oleh masyarakat lokal.
- Pemerintah pusat juga terlibat dalam upaya untuk “menginovasi model ekonomi di luar produk hortikultura yang dapat mendukung konservasi hutan dan berbasis lokal”.
JAKARTA – Sejak diluncurkan pada tahun 2017, Asosiasi Kabupaten Berkelanjutan atau LTKL yang berbasis di Jakarta, telah menyatukan pemerintah kabupaten dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengambil tindakan kolektif menuju keberlanjutan yang lebih besar, terutama di industri kelapa sawit.
Sebagian besar dari sembilan kabupaten yang saat ini tergabung dalam jaringan LTKL memiliki perekonomian yang sangat bergantung pada perkebunan monokultur seperti kelapa sawit atau industri ekstraktif lainnya seperti minyak dan gas. Untuk mematahkan stereotip ini dan menciptakan model ekonomi yang lebih berkelanjutan, jaringan ini bereksperimen dengan berbagai produk alami, mulai dari kopi dan kakao, hingga produk sampingan kelapa, bambu, dan agroforestri.
Menurut Presiden LTKL Ristika Putri Istandi, perubahan tersebut diperlukan untuk lebih melindungi hutan dan lahan gambut serta hasil hutan asli Indonesia. Ia mengatakan meskipun daerah-daerah anggota asosiasi tersebut mempunyai potensi untuk menghasilkan produk-produk organik, mereka kekurangan sumber daya dan kapasitas untuk mengidentifikasi pembeli potensial dan memasarkan produk-produk mereka.
Pada saat yang sama, permintaan global akan produk ramah lingkungan meningkat, tambah Risticha.
“Kami tidak bisa mengetuk [the market] Karena pipanya belum siap,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, baru-baru ini.
Salah satu masalahnya, katanya, adalah tidak adanya sumber informasi yang kuat mengenai produk alami apa saja yang tersedia di suatu kabupaten, siapa yang memproduksinya, dan bagaimana cara membelinya.
“Pipa ini [of data] Kami sedang mempersiapkannya,” ujarnya.
LTKL juga bersiap mendirikan perusahaan di tingkat lokal untuk menjalin hubungan dengan investor dan pembeli potensial, kata Risticha. Ia menambahkan, lembaga-lembaga tersebut akan melibatkan masyarakat lokal, termasuk generasi muda. Melalui hal ini, petani kecil dapat fokus pada budidaya produk mereka dibandingkan hanya menyebarkan upaya mereka untuk memasarkan dan mencari pembeli, katanya.
“Sampai saat ini kami juga sedang menggalakkan petani untuk menjadi wirausaha,” ujarnya. “[But we should let] Petani tetaplah petani.”
Sembilan kabupaten di Indonesia saat ini menjadi anggota LTKL: Aceh Tamiang, Siak dan Musi Banyuasin di Pulau Sumatera; Kapuas Hulu, Sangu dan Sindong di Kalimantan; dan Korandalo, Sigi dan Bon Polanco di Sulawesi. Banyak dari mereka yang membangun portofolio investasi dan mengembangkan bisnis hilir di luar model komoditas perkebunan skala besar.
Khususnya, Siak, jantung kelapa sawit di provinsi Riau, telah menunjukkan kemajuan signifikan dalam beralih dari monokultur skala besar dan meningkatkan produk alaminya, kata Risticha.
“Mereka mulai mengembangkan inovasi berbasis alam seperti nanas, sagu, dan ikan gabus,” ujarnya. “Sudah ada pasar untuk produk-produk ini.”
Pada saat yang sama, SIAK mendorong keberlanjutan yang lebih besar pada produk curahnya, seperti minyak sawit, dengan meluncurkan rencana produk berkelanjutan yang disebut “Peta Jalan SIAK Hijau.” Peta jalan ini didukung oleh aliansi sektor swasta yang mencakup perusahaan kelapa sawit Astra Agro Lestari, Wilmar dan Musim Mas, serta produsen kayu pulp April dan Asia Pulp & Paper (APP).
Peta jalan tersebut mencakup inisiatif seperti pemantauan lingkungan, ketertelusuran produk, bantuan petani kecil, peningkatan kapasitas, sertifikasi dan audit.
Jadi diyakini semua sumber siak stabil, kata Risticha.
Untuk mendukung daerah-daerah penghasil komoditas seperti anggota LTKL dalam melakukan transisi menuju pembangunan berkelanjutan, kabupaten-kabupaten tersebut harus menerima dana untuk inovasi berbasis alam, kata Rizal Alkamar, direktur Aliansi Hutan Tropis untuk Asia Tenggara.
“Perusahaan dan investor melihat potensi sinergi antara minyak sawit berkelanjutan dan inovasi berbasis alam untuk mendorong yurisdiksi yang kaya sumber daya dengan alam yang sehat,” katanya.
Selain sektor swasta, pemerintah juga memainkan peran penting dalam membantu mengembangkan dan meningkatkan model produk alam di daerah-daerah sekaligus melindungi hutan.
Musdhalifah Machmud, Wakil Kepala Menteri Perekonomian dan Pertanian, mengatakan pemerintah memiliki rencana komprehensif untuk mengembangkan industri berbasis inovasi dan penelitian untuk mendorong ekonomi berbasis alam dan industri hijau bernilai tambah tinggi seperti biokimia pangan dan pengolahan herbal. Mustaliba mengatakan proyek-proyek tersebut tercantum dalam rencana pembangunan jangka panjang pemerintah pada tahun 2025 hingga 2045.
“Pemerintah mendukung segala upaya untuk mencapai perekonomian berkelanjutan dengan mendorong praktik berkelanjutan di industri perkebunan berdasarkan banyak komoditas, baik itu minyak sawit, kakao, kopi, atau karet. “Kita perlu melakukan inovasi model ekonomi di luar produk hortikultura berbasis lokal yang mendukung konservasi hutan,” ujarnya.
Gambar Spanduk: Indonesia adalah produsen utama minyak kelapa. Foto oleh Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia.
Komentar: Gunakan Format ini Kirim pesan ke penulis postingan ini. Jika Anda ingin mengirimkan komentar publik, Anda dapat melakukannya di bagian bawah halaman.
More Stories
Anies Baswedan berpeluang maju di Pilkada Jabar: Juru Bicara
Indonesia Atasi Utang Perumahan dengan Subsidi FLPP
Tarian terakhir Jokowi