POSPAPUA

Ikuti perkembangan terkini Indonesia di lapangan dengan berita berbasis fakta PosPapusa, cuplikan video eksklusif, foto, dan peta terbaru.

Masyarakat Pribumi Indonesia: Masyarakat Pribumi Indonesia menggunakan abjad Korea untuk melestarikan dialek tersebut

Masyarakat Pribumi Indonesia: Masyarakat Pribumi Indonesia menggunakan abjad Korea untuk melestarikan dialek tersebut

BAUBAU: Di sebuah desa di Indonesia bagian timur, anak-anak sekolah menggambar lingkaran dan garis yang khas Aksara Hangul di papan tulis, tapi bahasa yang mereka pelajari bukan bahasa Korea. Itu adalah asal usul mereka sendiri Lidah Cia-Cia.
Bahasa suku Cia-Cia di Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara hilang bentuk tertulisDan bahasa berdasarkan suku kata tidak langsung diterjemahkan Alfabet Latin Sering digunakan untuk mentranskripsikan bahasa nasional Indonesia.
Namun aksara Hangul Korea, yang dikembangkan pada abad ke-15, memiliki sistem berbasis karakter yang menjadikannya alat yang luar biasa dalam upaya melestarikan dan menyebarkan bahasa sekitar 80.000 orang Cia-Cia.
“Misalnya dalam kata latin, tidak ada kesepakatan cara mengucapkan bunyi ‘pha’ atau ‘ta’. Tapi setelah saya belajar bahasa Korea, ternyata bunyinya ada huruf Korea,” Abidin, guru berusia 48 tahun, yang hanya menggunakan satu nama, mengatakan kepada AFP.
“Mereka tidak sama, tapi serupa.”
Indonesia adalah negara kepulauan yang luas dengan suku dan budaya yang tak terhitung jumlahnya, dengan lebih dari 700 bahasa yang berbeda, menjadikannya salah satu negara yang paling beragam bahasanya di dunia.
Bahasa resmi negara ini adalah Bahasa Indonesia, yang memiliki sistem penulisan standar menggunakan alfabet Latin untuk pemerintahan kolonial Belanda.
Namun bahasa Cia-Cia belum memiliki bentuk tertulis hingga tahun 2009, ketika Hangul diperkenalkan setelah pertukaran budaya antara kota Baubau dan sarjana Korea.
Keputusan tersebut merupakan hasil dari dorongan bersama para ahli bahasa Korea Selatan, yang mengklaim sistem berbasis suara Hangul sangat cocok.
Setelah kunjungan tersebut, pemerintah kota mengirimkan guru dan siswa ke Korea Selatan untuk mempelajari Hangul dengan tujuan menciptakan cara yang berkelanjutan dalam menulis dan mengajar bahasa mereka.
– Upaya pertahanan –
Pada zaman dahulu, para pemimpin masyarakat menggunakan bahasa pada potongan kertas dan kayu dengan menggunakan simbol-simbol kasar yang tidak akan pernah hilang atau hilang.
Namun sekarang nama Cia-Cia tersebar di sekolah-sekolah, jalan-jalan, dan kantor-kantor pemerintah di kota tersebut, dan ditulis dalam Hangul.
Bahasa tersebut diajarkan kepada siswa dari SD hingga SMA dengan menggunakan simbol Hangul, meskipun sebagian besar merupakan bahasa lisan daripada bahasa tertulis.
Abidin menghabiskan enam bulan mempelajari Hangul di Korea Selatan dan dianggap sebagai pionir dalam menyalin chia-chia ke dalam aksara. Ia juga menulis kamus untuk bahasa tersebut menggunakan Hangul.
Hangul dipandang dengan bangga di Korea Selatan, di mana ia pernah dilarang di bawah pemerintahan Jepang, dan kabar tentang peran aksara tersebut di Indonesia telah dipuji oleh beberapa politisi dan surat kabar sebagai bukti kehadiran sistem penulisan secara universal.
Dalan Mehuli Berangin-Angin, ahli bahasa di Universitas Sanada Dharma Indonesia, mengatakan diterimanya Cia-Cia menjelaskan keinginan kuat mereka untuk melestarikan bahasa mereka.
“Itu menunjukkan bahwa orang-orang merindukan naskah mereka sendiri,” katanya.
Bahkan bentuk lisan Cia-Cia menghadapi tekanan dari dominasi Bahasa Indonesia dan bahasa daerah lainnya, kata seorang tetua setempat, Ilias.
“Banyak kata yang hilang karena pengaruh bahasa Indonesia dan bahasa daerah lainnya. Hal ini sudah berlangsung kurang lebih 20 tahun,” kata pria berusia 50 tahun itu.
Kekhawatiran akan masa depan bahasa mereka telah mendorong para tetua untuk menerima penggunaan Hangul, namun ada pula yang merasa khawatir.
– Tradisi linguistik –
Babao adalah satu-satunya tempat di Indonesia yang menggunakan Hangul, dan meskipun Seoul tidak mendukung desakan Korea Selatan untuk membuat naskah tersebut, nuansa nasionalisnya dapat mengaburkan identitas komunitas tersebut, kata Periangin-Anchin.
“Bahasa mengandung kenangan, sejarah, moralitas, dan kearifan nenek moyang kita. Bahasa adalah warisan tertulis,” ujarnya.
Cia-Cia mungkin mengadopsi aksara yang sudah digunakan dalam dialek lain di Sulawesi, yang memiliki kesamaan linguistik yang erat.
Namun bagi Saryando, salah satu siswa yang mempelajari Hangul di Korea Selatan, naskah tersebut “menginspirasi penciptaan wacana baru yang didedikasikan untuk pelestarian bahasa Chia-Chia”.
“Sebelum diperkenalkannya Hangul, banyak masyarakat Cia-Cia yang agak enggan menggunakan bahasa daerah dalam suasana formal,” ujarnya.
“Namun dengan penerapan Hangul, orang bilang bahasa Cia-Cia kita sudah universal.”