Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (Antara) – Kain tenun atau yang dikenal dengan sebutan ikat sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Sumba di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur, kata Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Riset. , dan teknologi.
“Di Sumba, kain tenun bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tapi sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat,” kata Irini Devi Vandi, Direktur Pembinaan Pendayagunaan Budaya Kemenhub, kepada ANTARA di sini, Jumat.
Dikatakannya, masyarakat setempat tidak hanya memakai kain tenun sebagai hiasan saat menghadiri acara-acara penting karena memiliki makna yang lebih mendalam bagi mereka.
“Mereka menggunakannya sebagai pakaian sehari-hari dan bahkan membutuhkannya saat upacara atau ritual biasa, di mana mereka tidak bisa memakai pola apa pun secara sembarangan karena harus dicocokkan (dengan upacara),” kata pejabat itu.
Karena kain tenun telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Sumba, kini terdapat beragam koleksi 85 motif tenun ikat yang mencerminkan ciri khas masing-masing kelompok melalui desain atau teknik pewarnaannya, jelas Wandi.
“Ketika seorang penenun memulai pekerjaannya, î Itu berdasarkan pola di pikirannya dan semua pola memiliki arti. Jika kita meneruskan ini ke generasi mendatang, mereka akan mengerti (makna dari pola).” .
Untuk melestarikan kain tenun yang dianggap berharga oleh masyarakat Sumba, warga harus membelinya dan mempelajari makna di balik polanya, ujarnya.
Ia menambahkan, hal itu untuk mencegah agar seni tenun asli Indonesia tidak punah.
Sebelumnya, seorang penenun di desa Raja Brailiu mengatakan, meski menjadi sumber pendapatan utama sebagian besar masyarakat Sumba, kain tenun ikat bukanlah komoditas yang diperjualbelikan karena motifnya yang indah.
Setiap pola anyaman memiliki arti tersendiri, katanya. Misalnya, udang melambangkan kehidupan dan kelahiran kembali, buaya melambangkan kebangsawanan, dan ayam melambangkan kedekatan dengan alam.
“Ini bukan sekadar kain, tetapi mengandung filosofi kehidupan, dan setiap polanya berasal dari hati penenun,” tegas Brilieu.
Setiap desa memiliki teknik pencelupan sendiri sehingga warna kain tenun bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, katanya.
“Kami berharap lebih banyak tamu datang ke sini karena kami tidak hanya menjual pakaian, tetapi kami tertarik untuk membantu mereka memahami sejarah dan misi kami,” kata Brilieu.
Berita terkait: Kemenhub kumpulkan data ekosistem tekstil tenun Sumba Timur
Berita terkait: Kementerian tegaskan kembali komitmen untuk melestarikan seni tekstil tradisional
“Pembaca yang ramah. Penggemar bacon. Penulis. Twitter nerd pemenang penghargaan. Introvert. Ahli internet. Penggemar bir.”
More Stories
Anies Baswedan berpeluang maju di Pilkada Jabar: Juru Bicara
Indonesia Atasi Utang Perumahan dengan Subsidi FLPP
Tarian terakhir Jokowi